~6.sahabat

16 3 0
                                    

Sekarang rasanya ada hampa setelah seusai senja. Tapi kini hampa itu perlahan terganti oleh gantungan kecil yang aku genggam dari tadi.

Kini aku sekarang ada di bandara dan sebentar lagi aku berangkat.

Belum, nomor yang pegang dari 15 menit yang lalu belum di panggil jadi masih ada waktu aku berpisah dengan mereka dan juga aresta.

"Lu jaga diri baik-baik di sana ya," Ujar lisa.

"Lu jangan lupain sambel ulek bikinin gue, karena gua udah bawain jadi lu bawa ja dah," Ujar rini.

Semua terlihat sedih aku pun terharu hingga rasakan aku tak sanggup kalau harus berpisah dengan Sahabat-sahabatku ini. Sangat sulit mencari sahabat yang mau menemani dalam situasi apapun hingga saat Jihan terlihat rapuh pun hanya mereka yang memahami.

Itulah,arti sahabat yang sebenarnya.

Yeni yang menatapku dengan mata sendu juga ikut berhambur. memeluk tubuh rampingku, aku terlihat seperti anak kecil yang sedang di peluk keluarga sendiri karena, tidak ingin di tinggal pergi.

Riandri dan aresta saling tatap satu sama lain tanpa ada percakapan 1 kata pun yang keluar dari mulut pria itu, rasa sedih turut Meng-hantui laki-laki pemilik senyuman manis itu dirinya hanya bisa diam tanpa ada kata.

Aku pun perlahan melepaskan pelukan erat mereka."udah ya, gue juga bakal balik lagi girl."kataku, menatap mereka semua.

Setelah aku terlepas dari pelukan jeratan sahabatku. aresta tiba-tiba datang menarik tanganku dengan begitu cepat, tangan itu lembut dan hangat sekali aresta tidak kasar dalam menarik jihan, aresta hanya ingin jihan merasa nyaman dengan kontak fisiknya dengan cara yang lembut.

Riandri hanya bisa terdiam menatap kepergian jihan dan aresta. Baginya dirinya bukan siapa-siapa dia tidak berhak mengatur Sahabat masa kecilnya itu meskipun rasa sakit terus ia rasakan menatap tangan itu saling bertautan begitu, juga dengan ketiga gadis itu mereka hanya tersenyum.

Biarin aja! Kalau udah pacaran yang jomblo lewat!

Hingga tangan aresta kembali terlepas dan terhenti pada sebuah tepian sungai besar.
itu, tidak terlalu jauh dari pandangan mereka hanya beberapa menit saja dari sini jihan menatap tangan aresta yang miliki luka di tepi ujung telapak tangan laki-laki itu.

"Udah gak usah perhatiin tangan gua, yang tatap mata gua bukan tangannya."ucap aresta, tersenyum tipis menatap jihan.

"Hah?"tanyaku.

Aresta tersenyum padaku dengan wajah teduhnya yang sayu-sayu masih bisa aku melihatnya tersenyum tipis, senyum itu membuatku candu dalam waktu sesaat dan kemudian, dia hanya memelukku dengan cepat namun, tetap masih bisa aku rasakan kenyamanan dalam pelukannya.

Jihan pun membalas pelukan aresta dengan pelan sembari menepuk-nepuk pelan pundak belakang laki-laki itu pelukan ini masih sama seperti saat pertama kali aku mencobanya kehangatan itu masih berdesir di hatiku, jihan seperti gadis kecil harus berjinjit untuk bisa sampai puncak pundak aresta.

"Aku senang jika kamu bahagia," Ucapnya.

Jihan mendengar itu seketika mengulas senyum di bibir tipisku. Perasaan itu mulai kembali mendengarkan aresta memanggil dirinya dengan kata 'Aku' rasa seperti jatuh ke taman bunga yang indah tanpa nyawa.

Aresta perlahan melepaskan pelukan itu perlahan menatap mata gadisnya itu tanpa ada suara yang keluar sedikit pun di mata aresta hanya ada tatapan rindu yang tidak bisa di ucapkan tapi bisa di gambarkan lewat mata.

"apa ares?"tanya jihan, pelan.

Setelah menatap cukup lama barulah aresta mengeluarkan suaranya." Ingat janji pita yang pernah aku janjikan waktu itu?"jawab aresta, dengan pertanyaan.

Dear Jeon Where stories live. Discover now