5. Hidup

194 24 0
                                    

Aku membeli vila dari seorang muggle setelah tidak bisa menganggap Malfoy Manor, tempat yang aku tinggali sejak berumur satu hari, sebagai rumah. Tempat di mana orang tuaku membesarkanku itu, membuat ingatan tentang bagaimana Belle yang diikat secara tidak manusiawi, berdarah, dan sekarat di ruang sempit bawah tanah,- selalu terbayang. Aku tidak bisa tinggal di sana lagi. Benar-benar tidak bisa. Ibuku keberatan tentunya, tapi dia tidak bisa melarangku. Sedangkan ayah yang sibuk ketakutan dan memikirkan bagaimana nasib keluarga, tidak punya tenaga untuk menahanku pergi asalkan aku tetap selamat, dan tidak melakukan kesalahan.

Bagaimana aku selalu membayangkan bisa tinggal di vila ini dengan Belle. Berdua menghabiskan hari dengan cinta dan obrolan malas. Dan mungkin, kelak- akan ada bocah nakal bernama Scorpius ataupun gadis cerewet bernama Daneiris yang mengisi hidup kami berdua dengan kerepotan dan kasih sayang.

Aku tidak akan melepas Belle lagi. Tidak bisa setelah dia disiksa tepat di bawah lantai yang aku tapaki. Memastikan dia tetap aman dan berada di dekatku, inilah yang terbaik. Kami menyerah untuk berpisah seperti sebelumnya. Semua akan baik-baik saja, setidaknya saat kami bersama.

Sebelumnya, saat aku tahu dia mulai jatuh cinta padaku, aku pernah berpikir kalau cintanya tidak lebih dalam dari milikku. Aku salah.

Belle bahkan mencintaiku lebih dari dia mencintai dirinya sendiri. Sama sepertiku, dia rela kehilangan cinta, meskipun aku yakin dia tahu kalau aku tidak akan pernah bisa berhenti untuk mencintainya. Dia hanya ingin aku hidup- meskipun kami tidak bisa bersama, mengubur perasaan itu di relung hati lalu tersiksa.

Belle mengisi vila dengan perhatian dan cinta setiap detiknya. Bagaimana dia selalu memasak sesuatu yang lezat, mengomentari tubuhku yang terlalu kurus, padahal tulang rusuknya sendiri terlihat sangat menonjol di permukaan kulitnya akibat dari penyekapan yang dialami. Setiap kali aku menyuap hasil masakannya, cukup membuatku untuk menarik kesimpulan. Berpikir kalau kemampuannya ini adalah hasil dari hidup mandiri yang ia jalani karena tinggal terpisah dengan ibunya.

Dia gadis yang kuat, meskipun banyak menangis karena kepergian kakeknya. Aku tahu dia bukan gadis yang egois, di mana selalu mengkhawatirkan orang lain di kondisinya yang lebih mengenaskan. Bagaimana dia bertanya dengan hati-hati dan cemas setiap kali aku pulang ke vila. Draco, baik-baik saja? Ada yang terjadi di manor?. Aku tidak bisa menjawabnya meskipun aku ingin. Bahkan sangat ingin karena Belle adalah pendengar terbaik- yang pernah ada. Tapi ini adalah hal yang begitu buruk, aku tidak mau menodai telinganya.

Aku tidak bisa mengatakan kalau aku membantu salah satu misi Death Eater untuk menculik Luna Lovegood- salah satu teman Belle, dalam rangka membungkam mulut Xenophilius Lovegood. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku telah memasukkan bara api ke dalam mulut salah satu Death Eater karena membuat Dark Lord marah. Aku tidak bisa bercerita bagaimana aku membawa pemuda muggle yang sedang akan bunuh diri untuk dijadikan santapan Nagini- ular milik Dark Lord. Nagini tentu saja bisa mencari mangsanya sendiri, Dark Lord hanya memberiku tugas agar aku terlatih menjadi kejam seperti Death Eater yang lain. Aku selalu menyesali perbuatanku, dan selalu terbayang bagaimana pemuda muggle itu meskipun sudah memutuskan untuk mati, aku yakin dia tidak ingin mati dengan menjadi santapan ular piton.

Di tengah tangisan ibuku, kelamnya hariku, dan rasa tertusuk di lenganku, aku bisa bernafas dengan mudah hanya dengan mengingat Belle yang selalu menungguku pulang. Aku bisa melakukan semua perbuatan keji yang mereka perintahkan hanya dengan mengingat kenangan kami bersama, yang memberiku kekuatan untuk segera kembali padanya, untuk membelai pipinya, dan menghirup harum rambutnya. Pelukannya selalu berhasil membawa kehangatan, jari mungilnya yang membelai rambutku perlahan tidak pernah gagal membuatku tenang.

Senyumnya mampu membuatku merasa baik-baik saja meskipun sedang sekarat dari dalam. Dia adalah warna putih di antara warna hitam yang menyelimutiku. Dia adalah harapan tidak peduli bagaimana keputusasaan menyerang. Dia adalah setepat-tepatnya, dan satu-satunya pilihan yang aku punyai untuk menuju definisi bahagia. Dia adalah detak di jantung, wangi di udara, kebebasan, dan satu-satunya surga di dalam neraka ini, bagiku. Dan itu akan selalu. 

Aku terlalu malu untuk mengungkapkan semua ini pada Belle. Tapi aku yakin dia mengetahuinya. Bagaimana tidak? Dia selalu melihat hasil lukisanku yang tidak pernah lepas dari bentuk wajah cantiknya.

Aku suka menatap matanya yang sedang tertutup, mungkin bermimpi atau mungkin tidak, aku tidak bisa menebak. Menyenangkan melihat garis wajahnya yang halus, dengan ekspresi nyaman, tanpa ada dosa dari auranya. Namun lebih menyenangkan saat dia bangun, tidak pernah sekalipun ia lupa untuk mengucapkan selamat pagi, di mana setelahnya dibumbui dengan ungkapan 'aku mencintaimu'. 

Dia lebih dari jiwa wanita yang hidup pada satu tubuh. Dia adalah sosok kehidupan yang aku dambakan di sisiku, selamanya.

Kami membahas segala hal. Tentang buku, teh, apel, warna rambut, pilihan, mimpi, hujan, ataupun langit malam. Hanya dengannya aku tidak malu untuk membicarakan ketertarikanku tentang mitologi yunani, atau bagaimana aku takut dan masih ngeri akan hipogriff. Aku bisa tertawa di tengah penderitaan yang melanda dunia. Aku merasa sangat hidup di dalam vila itu dengan Belle dan dengan segala hal yang ia punya.

ANYONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang