7.3. Turuti Aku Kali Ini Saja

258 35 0
                                    

Di ruangan gelap tanpa cahaya matahari ini, aku sering disiksa oleh Bellatrix. Dia murka saat aku berhasil menangkal semua legilimencynya. Lengkingan kuat sering dia serukan tepat di telingaku- mungkin jalang itu memang berniat membuatku tuli. Berkali-kali dia mengutukku dengan mantra cruciatus untuk pelampiasan kesalnya. Dia tidak lebih dari orang sinting yang bahkan terlihat sangat menikmati melihat orang lain sekarat. Sambil melotot, dia terbahak-bahak saat aku menjerit.

Kutukan Bellatrix lebih menyakitkan dibandingkan dengan Amycus- salah satu Death Eater yang menjadi guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, yang beberapa kali memberiku detensi dengan kutukan serupa. Seolah seluruh pembuluh darahku dicabik dan ditarik hingga putus; otakku seperti dipanggang karena terasa sangat panas di kepala; lalu perih sekali seakan kulitku dilepas dengan perlahan. Mungkin mati akan lebih mudah.

Siksaan Bellatrix akan lebih ringan saat Mrs Narcissa Malfoy- ibu Draco bersamanya, dia sering kali mencegah Bellatrix untuk tidak terlalu keji. Aku selalu membuat diriku pingsan setiap kali mereka mencekokiku dengan veritaserum, entah dengan menggigit lidahku sendiri- yang terinspirasi dari Ginny, atau pun membenturkan kepalaku ke dinding. Aku tidak akan membiarkan mereka mengetahui secuil pun informasi dariku mengenai penemuan Horcrux, mengenai Harry, atau apapun itu yang bisa menguntungkan Voldemort.

Itu lah mengapa mereka memasungku- mencegahku mati karena menyakiti diri sendiri terlalu sering demi informasi yang mereka inginkan. Satu keuntungan yang aku punya adalah aku tahu mereka tidak akan membunuhku sebelum memperoleh apa yang mereka mau. Aku tidak bisa melawan tanpa tongkat dan terlalu tidak berdaya. Aku juga tidak yakin apakah aku bisa mengalahkan Bellatrix meskipun dalam keadaan baik dengan tongkat di genggaman. Aku tidak menampik bahwa terkadang aku begitu putus asa di tengah air mata yang sudah mengering. Apakah mati adalah satu-satunya pilihan?.

"Bangun. Buka matamu" kata suara yang membangunkanku. Aku melihat Draco berwajah tegang dan bernafas cepat.

"Apa?" Tanyaku lemah.

"Belatrix akan menggunakan veritaserum lagi besok." Ucapnya sesekali menoleh ke arah pintu.

"Ya?" Aku mencoba untuk mengumpulkan kesadaran sekaligus heran kenapa Draco memberi kabar itu.

"Jangan membuat dirimu pingsan lagi" ujar Draco tiba-tiba

"Apa maksudmu?"

"Jangan menyakiti diri sendiri- untuk pingsan" aku terperangah mendengar Draco berbicara lembut di tengah gesture tubuhnya yang waspada. Bagaimana dia bisa tahu apa yang selalu aku lakukan setiap kali mereka memberiku veritaserum?

"Terimakasih sudah mau repot memberi tahu, tapi tidak perlu memberiku saran" timpalku.

"Tidak ada waktu untuk ini. Dengarkan aku... Telan saja veritaserum itu, kau bisa menjawab dengan jawaban yang kau mau" erangnya dengan penuh penekanan dan intimidasi.

"Mana bisa. Itu veritaserum- dia tidak akan memberiku kesempatan untuk berbohong. Aku tidak akan memberikan secuil informasi pun untuk kubumu" kilahku.

"Aku sudah mengubah komposisi veritaserum itu. Dia tidak akan efektif. Jadi tenggak saja, kau masih bisa mengontrol jawabanmu" ucapnya. Aku memandangnya lekat- yang dibalasnya dengan tatapan penuh arti.

"Kenapa aku harus percaya padamu?" tanyaku

"Tidak perlu percaya jika kau ingin mati konyol" timpal Draco marah di tengah ekspresi cemasnya.

"Tentu. Jadi berhenti bersikap seolah kau peduli okay?" Kataku.

Ini tidak benar, kenapa kau melindungiku lagi Draco?. Bagaimana bisa kau tidak konsisten seperti ini?. Kembalilah dengan kalimat dingin dan kejammu seperti hari lalu. Meskipun itu menyayat, tapi itulah yang kuyakini benar.

"Belle... ku mohon" lirih Draco yang membuat hatiku luluh sepenuhnya hanya dengan dia memanggilku seperti sedia kala. Aku terpaku pada tatapannya- mata abunya yang selalu berhasil membuatku jatuh cinta setiap kali memandang.

"Turuti aku kali ini saja. Setelahnya, kau bisa bebas membenciku lagi" ucapnya, dia menatap dalam dan menyentuh pipiku dengan tangan yang gemetar. Setelah itu, Draco pergi dengan mengendap-endap. Aku mengiringi langkahnya dengan asap putih yang keluar dari mulutku di tengah musim dingin dan perasaan penuh ketidakpastian.

ANYONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang