4.11. Pesta Dansa Bodoh

359 46 0
                                    

Malam natal akhirnya tiba. Aku menata rambutku dengan hati-hati. Memastikannya tidak kusut dan tertata anggun. Aku menguncir rambutku gaya kuda setengah dengan plintiran lalu memakai aksesoris rambut. Sejujurnya aku sangat tidak percaya diri, bahkan Hermine sempat memaksaku untuk pergi ke aula bersama- tapi aku menolak dan berkata akan ke aula sendirian setelah koridor sepi. Hermione akan berdansa dengan Viktor Krum- dia berdandan cantik sekali dan memakai gaun indah berwarna merah muda.

"Malfoy memilihkan gaun yang sangat cocok untukmu" komentarnya saat memandang cermin. Aku terkejut bukan main setelah mendengarnya.

"Ah- bagai- bagaimana kau tahu?" tanyaku gagap.

"Surat ini jatuh di lantai dekat kaki ranjangku" ucapnya sambil menggoyangkan surat yang Draco kirim bersama gaun, aku meringis canggung.

"Aku akan tetap mengkhawirkanmu. Dan akan aku tonjok hidungnya kalau dia menyakitimu" katanya kemudian sambil menatapku. Dia tersenyum lalu melangkah keluar dari kamar asrama. Bagaimana bisa ancamannya sama persis dengan Harry?

Aku turun ke aula setelah memastikan menara Gryffindor benar-benar sepi. Di sepanjang koridor, musik terdengar semakin jelas. Aku sangat gugup sampai merasa mungkin kalau pingsan sekarang, semuanya akan lebih mudah.

Lalu aku tiba di aula. Dan apa yang paling aku takutkan malah terjadi di hadapanku sekarang. Seketika ingin menghilang saat melihat Draco berdansa dengan Parkinson. Hanya dengan melihatnya memegang mesra pinggang Parkinson, rasa sakit di hatiku lebih parah dibandingkan dengan rasa sakit akibat patah tulang.

Pikiranku kosong melihat wajah Parkinson yang sangat- bahkan teramat bahagia memandangi paras Draco. Maksudku kenapa harus Parkinson?. Apakah aku berhak untuk merasa terkhianati?. Yang jelas aku tidak rela dan ingin menangis. Pada akhirnya, hanya bisa menyalahkan diriku sendiri. Aku yang bodoh, konyol, dan sangat tidak masuk akal menyukai pria macam Draco Malfoy.

Di aula itu, semua orang tampak bahagia- tertawa, berdansa, dan tersipu. Hanya aku seorang diri yang menyedihkan, berdiri terpaku mencerna semua pemandangan yang membuat hatiku seakan teriris-iris. Tidak tahu berapa lama aku berdiri seperti properti hingga tatapan Draco menangkapku. Dia segara mendorong jauh Parkinson, lalu panik berlari ke arahku.

Aku berlari keluar dari aula yang penuh dengan musik itu setelah mencopot heelsku. Berlari sekuat tenaga dengan tangan kiri mengangkat gaun, dan tangan kanan membawa sepasang heels. Aku marah, cemburu, dan menahan air mata keluar dari mataku.

Menyesal sudah berniat memberikan kejutan pada Draco. Menyesal sudah berdandan dan menata rambutku. Menyesal sudah memakai gaun pemberiannya. Menyesal kenapa aku harus lari seperti ini. Apakah jatuh cinta memang sebercanda ini?. Apa yang akan dipikirkan Draco?. Tidak tahulah, aku hanya ingin berlari tidak sanggup menemuinya.

Kakiku mati rasa karena dinginnya salju yang kuinjak- Draco masih mengejarku. Aku mendengar langkah kakiknya, dan mendengar dia terus memanggil namaku- terkadang Abela, Abela Oxley, Bela, atau Belle. Dia semakin dekat, lebih dekat- dan aku tertangkap.

Tangannya meraih lenganku. Kurasakan cukup sakit karena saking eratnya dia mencengkram. Dengan cepat dia membalikan tubuhku agar menghadapnya. Aku harus mendongak untuk melihat wajah Draco. Nafasnya terengah-engah, kulitnya makin pucat karena udara sedingin ini. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana matanya yang menatapku dalam- seolah dia berbicara menyesal dan khawatir. Mulutnya sedikit terbuka, mengeluarkan asap putih- begitu pula aku.

Aku berpikir keras untuk mengatakan sesuatu padanya. Tapi apa? Bagaimana aku harus berbicara di kondisi yang bahkan tidak bisa dijelaskan seperti ini?. Sementara dia masih memandangku semakin lekat, dan hanya diam.

"Bagaimana pestanya Draco?" pertanyaanku yang canggung sungguh terdengar bodoh.

Draco tidak menjawab. Dia melihat tangan kananku, melepas genggamannya di lenganku, mengambil heels yang kupegang dengan kasar, lalu berlutut. Dia mengangkat kaki kiriku, mengusap lembut telapak kakiku dengan tangan satunya- untuk membersihkan salju yang menempel, lalu memasangkan heels dengan perlahan. Dia melakukan hal yang sama untuk kaki kananku- lalu kembali berdiri, menatap mataku lagi dengan mata tajamnya yang indah. Terdapat butiran salju yang terperangkap di bulu matanya yang pirang dan lentik.

ANYONEWhere stories live. Discover now