32| Kemenangan Besar

3.8K 564 465
                                    

"Aduh, sakit goblog."

Astaghfirullah, masih puasa ibu, itu mulut apa harus dipel biar kinclong dari kata-kata mutiara.

(Y/n) yang mengpanik kembali kalem. "Jangan nakutin lu, babu. Gue pikir beneran bakal pindah alam."

"Yang bilang gue masih bisa selamat siapa? Lu liat yang ditusuk jantung gue, paling bentar lagi nyusul Haruka. Mau nitip pesan gak?" Kiri menjawab dengan santuy sembari rebahan pasrah. Membuat (Y/n) kembali mengpanic.

(Y/n) menghela nafas. "Lu tunggu disini. Gue mau panggil kakushi dulu buat nyembuhin lu. Ga enak juga ninggalin para hashira disana."

Ia hendak beranjak, namun tangan Kiri menahannya. "Gak, gak. Gak usah repot-repot. Lagian udah separah ini nggak mungkin bisa selamat. Fokus aja lawan Muzan sana, tanggung bentar lagi matahari terbit."

"Lu jangan ngomong gitu, babu. Lu gak mau repotin Kakushi, kan? Yaudah begindang, lu kan beda dari manusia pada umumnya. Pasti seorang pemandu bisa nyembuhin luka setingkat ini. Gue aja dulu hampir modar bisa selamat gegara bantuan medis lu."

Kiri tersenyum. Ekspresi minta ditampolnya kini hilang entah kemana. Dalam keadaan rebahan setengah pasrah, ia merogoh sakunya. Mencari sesuatu sebelum menemukan secarik kertas origami berwarna merah muda.

"Daripada teknik medis gue dipake buat nyembuhin gue sendiri, yang ada bakal terbuang sia-sia. Gue juga gak bakal berpengaruh besar di perang ini.

Mending gue kasih ke elu aja kali ya?"

Sembari bergumam, tangannya mulai melipat lipat kertas tersebut, membentuk sesuatu yang tidak (Y/n) ketahui sama sekali.

"Kir... Gue gak butuh teknik medis sumpah, pertama ini sembuhin dulu lukanya. Lu ngapain sih etdah."

Oalah main origami...

'Orang lagi sekarat mah banyak-banyak berdoa dan bertaubat, minta semoga penyakitnya diangkat. Lah ini, malah main origami. Lagian sejak kapan dia suka origami ya? Perasaan itu kepala isinya kecoak doang.'

"Nah jadi, Origami kecoak. Lu selama ini pengen, kan? Sekalian kasih gip buat shota kesayangan, siapatau di notis."

"..."

Gajadi nangis.

"Yah, cuma itu sih yang bisa gue kasih. Maap ye, selama idup cuma bisa nyusahin lu.. ohok- Ahok- eh salah batuk. Uhuk uhuk- maap juga gak bisa jadi pemandu yang baik. Mungkin tugas gue sudah selesai sampai disini. Selamat tinggal anjing kesayangan gue, semoga lu bisa bikin ni story happy ending ya... Dan teknik medis gue, gunakan dengan benar. Siapa tau bisa berguna buat menyembuhkan beberapa hashira yang terluka."

Setelah mengatakan itu, Kiri mengulurkan tangannya, tubuhnya bercahaya, seakan sedang mentransfer(?) sisa tenaganya untuk (Y/n). Kemudian redup begitu saja.

Tangan yang sedari tadi (Y/n) genggam pun kini mulai terjatuh, tubuhnya dingin, wajahnya pucat, walau seulas senyuman tulus terpampang di sana. Kiri telah pergi, bukan pergi ke konbini buat beli wishkas, tapi pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya, dan tak akan pernah kembali.

Bismillah (Y/n) kena mental.

"Kalian...

Kalian pada benci gue ya? Kok gue mulu sih yang ditinggal?!" Perlahan, dua tanduk berwarna merah darah bertengger di dahinya. Ia juga memunculkan cakar dan taring yang terlihat sangat tajam. Pupil matanya pun kini berubah.

Lagi dan lagi, ia kerasukan syaiton.

"Hai Marjan. Kalau saya bilang mati, mati ya."

RUQYAH DIA, JUNPEI!

[End] Aurora | Kimetsu no Yaiba Where stories live. Discover now