22

9.4K 1.8K 210
                                    

"Oke. Lanjutkan." Pak Keydan menumpukan kedua lengannya di meja dan menyatukan kedua tangannya. Perhatiannya penuh padaku.

Aku meneguk ludah, mengumpulkan keberanian, dan berharap segalanya usai segera. "Saya mau Bapak berhenti pakai alasan pekerjaan untuk mendekati saya."

Pak Keydan mengangguk. Rahangnya tampak mengetat dan bibirnya menipis. Amarah tampak di dirinya.

"Sekarang saya bisa bicara?" tanya Pak Keydan. Aku mengangguk sekali dengan tatapan waspada.

"Ada tiga hal yang perlu saya luruskan." Dia menarik napas. "Pertama, saya nggak pakai alasan pekerjaan untuk mendekati kamu. Kedua, kamu menuduh saya sebagai pria berengsek."

"Saya nggak bilang Bapak berengsek," ralatku menggebu.

"Suami nggak setia yang gampang menurunkan celana untuk perempuan lain. Apa yang kamu sebut untuk pria yang kamu deskripsikan itu?" tantangnya.

"Bangcat." Jawabanku meluncur lebih cepat dari kinerja otak. Aku menggigit bibir bawah.

Pak Keydan menyeringai. "Jadi, bangcat yang waktu itu buat saya?"

Aku buang pandangan ke jemariku yang terpilin di pangkuan. Malu mengakui tertangkap pernah berbohong.

"Balik ke tiga hal tadi. Yang ketiga, saya mau kamu ketemu Jess nanti malam," katanya.

"BUAT APA?" Aku spontan berdiri sampai kursi yang aku duduki terpental dan jatuh.

Pak Keydan melirik kursiku yang terjatuh, lalu kembali menatapku. "Karena kamu ... hm, kamu bilang sebagai sesama perempuan, kamu bisa memahami betapa beratnya dikhianati. Biar adil, bukannya kamu bertemu Jess bersama pemahaman kamu sebagai sesama perempuan."

Rahangku jatuh. Mataku membesar.

Bangcat gila! Dia mau mengumpanku mengakui keberengsekan kami?

Pak Keydan tersenyum sinis. "Kelihatannya sebagai sesama perempuan pun kamu keberatan, ya?" sindirnya.

Aku mengangkat kepala tinggi-tinggi. Tantangannya akan aku ambil. Memangnya, dia pikir aku bisa diremehkan. Tukang bully itu, menurut mamiku, berani karena yang korbannya takut. Kalau korbannya nggak takut, hilang nyali tukang bully. Makanya, semasa SMP, aku yang menjadi tukang bully saking nggak takutnya. Biar nggak di-bully, aku bully duluan. Pak Keydan salah menantang orang.

"Baik." Aku mengangguk. "Saya akan ikut bertemu Bu Jess. Malam ini, kan?"

Pak Keydan memandangku curiga sebelum mengangguk. Dia menunjuk kursi di belakangku. "Pembicaraan pribadi kita selesai. Bisa tolong rapikan kursi di belakang kamu? Lalu kita kembali bekerja sebagai profesional. Saya mau bahas kasus Pak Bahar."

"Ada apa ya?" Modeku balik ke mode cungpret sejati. Dengar ada sentilan soal atasan bengek kayak Pak Bahar, aku lekas merapikan kursi dan duduk cantik.

Pak Keydan tersenyum melihat perubahanku yang secepat kilat. Menilik pengalamanku merantau di Jakarta, memang hidup paling benar itu kaya bunglon, sana sini bisa nemplok dan ganti warna. Keberagaman karakter perorangan dan kelompok, serta sadisnya aktivitas nyari muka telah menempaku menjadi sosok yang berbeda. Aku itu mirip Ben Ten, bisa ubah wujud tergantung musuhnya.

"Kasus Pak Bahar akan diusut pihak HRD diam-diam. Sebagai bentuk keamanan kamu, saya harap kamu nggak cerita ke siapa pun soal ini," kata Pak Keydan.

"Jadi, Pak Bahar tertuduh nih?"

"Bukan. Dia masih tersangka. Unless we get the evidences, he'll be the suspect."

"Saya bisa bantu kasih nama korban, Pak."

Pak Keydan terkekeh ganteng. "Kamu cepat bereaksi kalo urusannya menguntungkan kamu. Sudah, balik sana ke meja kamu. Nanti malam jangan kabur. Jangan seperti pagi itu."

"Pagi itu?"

"Setelah malam yang kita habiskan bersama."

Mampus gue!

###

15/03/2021

😌 minta cepet update tapi ga bisa dapatin 1K vote, kalo gitu ya sudahlah... cerita ini tetap aku update dengan risiko di masa depan.

PreciousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang