Setelah selesai memandikan anaknya, Neira dibantu Bi Sari memakaikan pakaian serta antek - anteknya. Tadi kebetulan saat sampai di kamar, anaknya itu sudah membuka mata.

Dia kebingungan dan mungkin merasa asing. Neira jadi tidak tega, apa mungkin bayinya sedang merindukan orangtuanya, pikir Neira dalam hati.

Bi Sari sudah pergi dari kamar, sekarang tinggal Neira berdua dengan anaknya. Neira menonton televisi dengan bayi yang duduk dipangkuannya, menyender dengan posisi lengan Neira sebagai sandarannya, sedang menyusu tentu saja. Tadi Bi Asri datang membawakan susu.

Neira fokus menonton sambil memakan cemilan. Pagi yang sangat diimpikan. Berleha - leha di pagi hari, siapa yang mau menolak.

Melihat bayinya sudah menghabiskan susunya. Neira pun menggendongnya dengan menyenderkan kepala sang anak di bahunya, kemudian ia menepuk punggungnya. Neira sering melihat ini di acara keluarga. Biar bayinya bersendawa.

"Sudah kenyang, Sayangku?" Tersadar bahwa anaknya tidak bisa mendengar membuat Neira terdiam. "Kamu pasti mau dengar suara mama ya, Sayang? Kamu pasti mau dengar suara kicauan burung di pagi hari 'kan?"

Neira pun menciumi permukaan wajah anaknya yang membuat anaknya tertawa senang. Kemudian, Neira memeluknya erat. Berusaha menyalurkan rasa kasih sayangnya.

Neira keluar kamar sambil menggendong anaknya. Niatnya setalah memberi anaknya makan ia ingin berkeliling rumah dan taman di rumah ini, sambil mengenalkan bayinya pada lingkungan baru.

Sudah tidak perlu dijelaskan betapa luasnya rumah suaminya ini. Nanti kalian iri canda iri hehe. Ya, jadi ada kolam renang, gazebo, taman, disini ada ruang khusus melukis dan olahraga juga, ralat bukan ruang tapi bangunan khusus. Rumah suaminya ini terdiri dari dua tingkat tapi luasnya ya bukan main.

Tidak heran bukan hari sudah siang, saat Neira masuk ke kamar bersama anaknya yang tertidur.

"Capek ternyata ya, susah amat ngasuh anak."

"Alah ngeluh mulu hidup lo, Nei." Neira terkekeh, dasar kurang bersyukur lo, udah punya suami kaya, mertua baik, sahabat juga baiknya ga ketulungan.

Mengingat sahabatnya, ia jadi ingin menelepon sahabatnya tapi ia belum memberitahu Mas Revan.

"Jadi mungkin kasih spoiler aja kali, ya," kata Neira.

Neira memutuskan untuk melakukan panggilan grup. Ia yakin sahabatnya pasti mengangkat. Karena ya masih jadi kaum penunggu panggilan lah alias pengangguran.

"Assalamu'alaikum, kaum yang bebas tebar pesona," sapa Dena dengan semangat. "Eh, lupa Neira udah ga jomblo." ucap Dena terkikik.

"Wa'alaikumsalam, Densayang," jawab Neira dan Flaya berbarengan.

"Asoy, mantep banget dah lu berdua jadi dugun dugun kan gue," kata Dena sok tersipu malu.

"Wei, jangan gila lu. Yang bener aja gue masih suka yang berjakun keles," ucap Flaya ngegas.

"Gue juga masih kaliiii, santai, Fla," balas Dena.

"Lo berdua emng kelakuan ya. Jadi, lu pada udah ada panggilan ngajar?" tanya Neira yang duduk di sofa yang ada di kamar.

"Belum sih, tapi gue ditawarin tante ngajar di sekolah tempat dia ngajar aja," jawab Dena.

"Kalau gue kayaknya di sekolah milik keluarga suami lu deh, Nei. Ya, lumayan 'kan gajinya. Jadi gue mau usaha dulu dah ngelamar di sana," jelas Flaya.

"Keren ya lu pada, udah ada rencana aja."

"Lah, emang lu belum ada rencana?"

"Kalau soal kerjaan gue belum ada, Na. Gue lagi mau anak gue dulu."

PARENTS [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt