"Perempuan tadi pacar kamu?" Dhimas tetap diam.
"Kalau kamu udah punya pacar bahkan mau tunangan, kenapa kamu ngajak aku untuk menjalin hubungan seperti dulu?" Tanya Aura heran, perempuan itu masih berusaha menahan air matanya.
"Bahkan, ak-aku masih ingat betul kata-kata kamu tadi saat kita makan malam." Rasa kesal, kecewa, sedih, malu dan hancur semakin mendobrak-dobrak minta dilampiaskan.
"Apa maksud kamu selama ini, Dhim? Pertemuan tidak sengaja di antara kita, lalu perlakuan manis kamu ke aku? Dan hari ini, kamu bikin aku bingung." Dhimas menatap pada Aura dengan raut yang sulit diartikan.
"Sama kaya kamu kan, Ra!" Celetuk laki-laki itu dengan nada meremehkan. Aura mengernyitkan keningnya, merasa terkejut dengan ucapan Dhimas.
"Dulu kamu juga kaya gini, nggak jujur sama aku, bahkan bermain api di belakangku."
"Tidak ada penjelasan apapun sampai akhirnya aku tahu sendiri kebenarannya." Aura Merasa tertohok dengan pembahasan Dhimas yang mengarah ke masa lalu kelam itu.
"Gimana rasanya, sakit nggak?" Aura terdiam, matanya semakin panas.
"Kalau sakit, berarti sama Ra. Itulah yang aku rasakan saat kamu berselingkuh dengan laki-laki lain."
Duar!
Air mata sontak mengalir membasahi pipi Aura.
"Parahnya, sampai sekarang kamu nggak pernah kasih aku alasan yang jelas, kenapa perselingkuhan itu bisa terjadi." Lanjut Dhimas.
"Kalau kamu menyalahartikan perhatianku selama beberapa bulan ini, bukan salahku juga."
"Itu karna kamu terlalu baper! Padahal seharusnya kamu sadar, nggak semudah itu menerima kamu kembali setelah apa yang pernah terjadi di antara kita." Tegas Dhimas membuat Aura tersenyum getir.
"Pertemuan kita di awal memang tidak sengaja, tapi tidak dengan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya." Aura semakin membeku, Berarti Dhimas memang sengaja melakukan ini semua untuk balas dendam dengan cara yang tidak pernah aku sangka. Ujarnya dalam hati.
"Nggak ada niat jahat dari rencanaku, aku hanya ingin kamu ikut merasakan apa yang pernah aku rasakan!" Mendengar kata-kata itu, Aura tertawa pelan, tawa yang justru terdengar sangat pedih untuk orang-orang yang ikut mendengarnya, termasuk Dhimas.
"Selamat ya Dhim, kamu berhasil! Selamat untuk tujuan kamu yang tercapai dengan baik itu." Ucap Aura dengan nada yang begitu tulus.
"Ini benar-benar di luar dugaanku," Lanjutnya.
"Kemarin aku berpikir, pertemuan kita adalah salah satu kesempatan yang Tuhan berikan untuk memperbaiki semuanya. Bahkan dengan sikap manis kamu, aku percaya ada peluang untuk menebus semua kesalahan yang pernah ku lakukan." Aura mengusap air matanya sembari menghirup oksigen banyak-banyak.
"Tapi di balik rencana ini, kamu membagi rasa sedih dan sakit itu dengan adil dan tidak terduga. Hari ini aku benar-benar ikut merasakan apa yang kamu rasakan di masa lalu." Aura memegangi dadanya sembari menunduk, merasa tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Meski kamu merancang semuanya, tapi aku tidak pernah merasa dibodohi. Aku yakin ini balasan setimpal yang Tuhan kasih untuk pengkhianat macam aku." Suara Aura semakin parau. Menatap kondisi mantan pacarnya sehancur ini, Dhimas hanya bisa terpaku.
"Tuhan mengirimkan balasan yang dibalut indah dan rapi." Lagi-lagi Aura menghela nafas.
"Aku terima semua ini, Dhim. Benar-benar adil." Senyum Aura mengembang meski Dhimas tahu itu hanya dipaksakan.
"Apa kamu sudah lega sekarang? Aku harap rasa sakitmu terbayar lunas malam ini." Dhimas membuang wajah demi menghindari tatapan pedih Aura.
"Setelah berkhianat dari kamu, aku nggak pernah hidup tenang. Semua yang aku lalukan terasa berantakan. Mungkin karna aku dirundung rasa bersalah."
"Semoga dengan kejadian ini, hasilnya akan impas untuk kita berdua. Setelah semua yang terjadi, aku ingin hidupku juga lebih tenang."
Aura berjalan selangkah semakin dekat ke arah Dhimas, mengambil jemari laki-laki itu dan menggenggamnya erat.
"Aku tahu betul kamu orang yang baik. Dan aku paham kamu berhak mendapat perempuan yang baik juga." Tuturnya.
"Lancar-lancar untuk acara pertunangan kalian besok, semoga baik-baik sampai hari pernikahan kelak." Dhimas membeku kala Aura menepuk pelan bahunya. Lalu mengambil benda di saku dress yang ia kenakan.
"Aku ke sini mau balikin jam tangan kamu, tadi ketinggalan di ruang tamu apartemenku." Aura tersenyum sembari menyerahkan jam tangan mahal itu ke tangan Dhimas.
"Aku pamit ya Dhim, makasih untuk semuanya. Aku berdoa, kita akan hidup bahagia di jalan masing-masing." Hingga Aura berbalik dan pergi menjauh dari hadapan Dhimas, laki-laki itu hanya mampu mematung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Getaran di pundak perempuan itu membuat Dhimas sadar, mantan pacarnya benar-benar hancur malam ini. Bukankah ini yang ia mau?
Langkah gamang yang Aura ayunkan diiringi keyakinan bahwa inilah yang terbaik. Catatan perjalanan bersama Dhimas memang seharusnya diakhiri, inilah saat yang tepat membuka lembaran baru.
YOU ARE READING
Save The Date!
ChickLit"Kamu udah nikah?" "Hehe, belum." "Kenapa belum?" "Karna memang belum ketemu jodohnya. Kamu sendiri, udah nikah?" "Aku juga belum," "Kenapa? Belum ketemu jodohnya juga?" "Kan baru ketemu kamu hari ini." Setelah itu keduanya terdiam, membiarkan kehen...
