25. Hari Bahagia

2.5K 235 30
                                    

Rena mengernyit ketika mobil Davin berhenti di pelataran rumahnya, sorot matanya langsung tertuju pada barisan mobil yang terparkir di depan rumah—————nyaris memenuhi teras rumahnya.

Ada apa ini?

Rena bertanya-tanya, matanya memperhatikan keadaan rumahnya yang terpantau sepi meski banyak mobil terpakir di depannya.

Apa ada tamu? Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Hanya orang-orang kurang kerjaan yang bertamu sepagi ini. Bahkan mungkin orangtuanya baru terbangun. Di saat Rena sibuk dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalanya, dari arah samping suara Davin menginterupsi.

"Ayo." Davin sudah melepas sabuk pengaman, bersiap akan turun.

Rena kemudian tersadar, menoleh pada Davin yang tengah memandanginya. Seperkian detik Rena terdiam, matanya tak lepas sedetik pun dari tatapan Davin padanya. Dalam otaknya, ia mencoba menerka dan menyangkut pautkan kemunculan Davin dengan barisan mobil di depan sana.

Jangan-jangan ....

Mata Rena seketika melebar, ketika pertanyaan konyol itu melintas dalam pikirannya.

Jangan bilang itu mobil keluarga Davin, nggak mungkinkan kalau Davin mau lamar gue lagi? Batin Rena, mengingat kemarin ia memutuskan pertunangan dan mengembalikan cincinnya pada Davin.

"Vin, kamu ...." Rena menjeda ucapannya, berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk melontarkan pertanyaan yang bercokol dalam kepalanya. Namun, belum sempat terealisasi, pria itu lebih dulu berucap.

"Ayo, aku jelaskan semuanya di dalam." Tangan Davin terulur membelai pipi Rena, diikuti senyuman manis yang menghangatkan.

Kalau perlakuan Davin saja semanis itu, bagaimana Rena tidak luluh. Tanpa membantah, ia keluar dari mobil, berjalan di sisi Davin ketika memasuki rumahnya.

Sesampainya di ambang pintu yang kebetulan terbuka, Rena terperanjat melihat orangtuanya sedang bercengkrama dengan beberapa pria yang begitu familiar. Ia mengenal mereka, sahabat kakaknya. Tapi untuk apa mereka bertamu pagi-pagi, walau di sana juga ada kakaknya, tetap saja Rena penasaran. Lalu netranya tak sengaja menangkap sesosok wanita yang ingin ia cabik-cabik, wanita yang sudah berhasil membuat perasaannya campur aduk dan ingin marah. Siapa lagi kalau bukan Vanya———mantannya Davin, wanita itu duduk di sofa paling ujung. Lantas tanpa bisa dicegah, Rena berjalan menghampiri wanita itu dan berhenti tepat di depannya.

"Ngapain kamu di sini?" Suara bentakan Rena sukses mengejutkan semua orang. "Pergi dari rumah saya!"

"Ren," tegur mamanya dengan suara lembut. Tapi Rena tak menghiraukan dan malah tambah bringas menatap wanita di depannya yang hanya bisa tertunduk.

"Tunggu apa lagi? Pergi dari sini!!" teriak Rena, menggebu-gebu. Ia tak menghiraukan teguran papa, mama dan Reyvan. Yang ada di otaknya saat ini hanya ingin meluapkan segala kekesalan yang ia pendam pada wanita itu. Ketika Rena akan menyeret Vanya, Davin lebih dulu meraih tangannya dan mengurungkan niatnya.

"Aku yang bawa dia ke sini," ucap Davin ketika Rena menatapnya. "Kita perlu bicarakan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman lagi di antara kita. Makanya aku bawa semua orang yang bisa memberikan kesaksian atas masa laluku."

Rena terdiam, menurunkan pandangannya. Meski rasa kesal masih membumbung sampai ubun-ubunnya, ia tetap menurut saat Davin membawanya duduk di sofa yang masih kosong.

"Mama, Papa." Panggilan Davin pada orangtua Rena setelah mereka bertunangan. "Maaf sebelumnya kalau Davin sudah buat gaduh pagi-pagi, tapi demi mempertahankan hubungan yang nyaris karam———Davin terpaksa harus mengundang mereka semua untuk meluruskan kesalahpahaman di antara Davin dan Rena," ujar Davin, memulai pembicaraan yang serius. Ia kemudian menoleh pada Vanya yang tertunduk, wanita itu tak berani mengangkat wajahnya barang sedetik saja. "Vanya, mungkin kamu ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu sebelum aku mengatakan semuanya?"

Marry Me (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang