15. Ambyar

1.1K 203 18
                                    

Udara pagi berembus pelan, begitu menyejukkan ketika menerpa wajah yang dipenuhi dengan bulir keringat. Hawa dingin menusuk kulit, tak menghalau Rena untuk terus memacu laju kakinya. Sudah jadi rutinitasnya setiap pagi, ia akan berlari mengelilingi jalanan komplek menuju taman. Meski beberapa hari yang lalu ia mengalami insiden penculikan, nyatanya hal itu tak lantas membuat Rena takut untuk lari pagi sendirian.

Napasnya memburu, Rena sedikit memelankan langkah kakinya. Ketika fokusnya tertuju di depan, tanpa ia sadari ada suara langkah kaki mendekat.

"Hai."

Rena terkesiap, seketika menoleh saat merasakan embusan angin menerpa lehernya, bersamaan dengan suara bisikan yang menyapa gendang telinganya.

"Davin!" Rena memekik, langsung berhenti. Betapa kagetnya ia melihat sosok Davin muncul di sampingnya.

"Hai, good morning," sapa Davin, tersenyum hangat pada Rena yang masih cengo karena kehadirannya. "Udah mulai sayang sama gue belum?"

Rena mendengkus geli ketika mendengar pertanyaan Davin. "Lo nggak ada pertanyaan lain?" tanya Rena, pasalnya selama tiga hari berturut-turut pria itu menanyakan hal serupa setiap kali mereka bertemu.

Davin menggelengkan kepala pelan, menyengir, menunjukkan deretan giginya yang rapi. "Jadi gimana, udah sayang belum?" Ia kembali mengulang pertanyaannya agar Rena segera menjawab.

"Emm ...." Rena tampak berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Kayanya belum, coba lagi ya." Dengan polosnya ia terkekeh geli, tanpa menyadari betapa ambyarnya perasaan Davin karena mendapat jawaban yang sama selama tiga hari.

"It's okay. Mungkin hari ini belum, tapi siapa tahu besok lo jadi bucin sama gue," ucap Davin, tampak begitu tegar.

Rena tersenyum miring. "Oh, ya?"

Davin menganggukkan kepala, antusias. "Kalau jampi-jampinya mbah Marjan manjur."

Rena tertawa geli, ia suka dengan cara Davin menanggapi ucapannya. Selalu ada perkataan pria itu yang membuatnya ingin tertawa. "Cinta ditolak, dukun bertindak ya," sahutnya, menanggapi omongan Davin yang membuat perutnya sampai terasa kaku karena tak bisa berhenti tertawa.

"He-he-he nggak juga si, ya kali ganteng-ganteng begini pakai dukun. Malu sama cowok yang jemput cewek depan gang." Lagi, jawaban Davin terdengar ambigu tapi lucu bagi Rena.

Rena mencebikkan bibirnya. "Ganteng-ganteng kok jomlo." Setelah mengucapkan kalimat keramat itu, Rena segera berlari sembari tertawa terbahak-bahak.

Davin menghela napas panjang. "Untung cinta Ren, kalau enggak udah gue jadiin tumbal proyek. Tapi boong, terlalu sayang buat dijadiin tumbal, mending jadi bini gue," gumam Davin, lalu berlari menyusul Rena.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Rena ketika Davin mensejajarkan diri di sampingnya.

"Mantau jodoh, siapa tahu udah kelihatan hilalnya," jawab Davin sekenanya.

Rena mendengkus pelan. "Bisa serius nggak?"

Davin langsung mengangguk, mantap. "Bisa, bisa, bisa. Kapan lo mau diseriusin, sekarang? Tapi KUA libur, gimana dong?"

Rena menggeleng-gelengkan kepalanya, malas menanggapi ucapan Davin. Pria itu tak pernah menjawab pertanyaannya dengan serius, bukannya apa-apa. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Davin begitu meresahkan, menyulut percikan dalam dada Rena, memicu debaran aneh berakhir dengan jantungnya yang dibuat kocar-kacir.

"Mau ketemu lo," ucap Davin kemudian.

"Ketemu gue?" beo Rena, berhenti berlari. Ia menyeka keringat di dahinya, sembari mengatur napasnya yang terengah-engah.

Marry Me (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang