"Yakin? Waktu kamu nyoba nyari keluarganya kak Dongheon kan malah muter-muter aku takut kamu kecapekan."

Intonasi khawatir dari Yongseung sanggup membuat hati Soora menghangat. Hanya perhatian kecil tapi cukup membuat pipinya merona. "Kalau nunggu kakak bisanya nyari cuma weekend aja kan? Kata kak Yongseung semakin cepat semakin baik?"

"Iya, tapi kamu hati-hati ya, kalau ada apa-apa langsung telepon aku."

"Iya."

"Nanti Kangmin aku jemput."

"Iya. Kalau gitu aku tutup teleponnya."

Soora mengeratkan genggamannya pada setir mobil. Jika keluarga Gyehyeon melakukan hal yang sama seperti keluarga Dongheon, setidaknya Soora berharap ada salah satu tetangga mereka yang mengetahui secara pasti di mana mereka sekarang tinggal.

Yah, pencarian ini tidak akan mudah dan berjalan cepat. Tetapi Soora yakin di setiap niat baik pasti ada jalan yang selalu tersedia di setiap langkahnya.




***




Yongseung mengeratkan pelukannya pada tubuhnya. Sudah sejak tadi ia menyusuri hutan belantara ini tanpa alas kaki, tanpa pakaian tebal, dan tanpa arah yang pasti. Entahlah keputusannya untuk mengikuti kakek disampingnya ini adalah keputusan yang tepat atau tidak karena kakek itu hanya berdeham saja ketika Yongseung bertanya ia akan membawanya ke mana.

Sudah ratusan ranting pohon terinjak dan arah perjalanan mereka bergerak sangat random. Kadang lurus terus dengan menerobos beberapa semak belukar, kadang berbelok-belok, bahkan beberapa menit lalu sang kakek justru memutar arah.

"Kakek nggak pikun kan?" tanya Yongseung sedikit takut ketika sang kakek memutar arah untuk kesekian kalinya. Jujur saja suara ranting dan dedaunan yang ia injak terasa begitu mencekam.

Kakek itu terkekeh. "Jika aku pikun untuk apa aku mengajakmu?"

"Untuk menjadi teman selama tersesat."

"Sampai...?"

"Di makan hewan atau mati?"

Jawaban Yongseung yang enteng namun canggung itu berhasil membuat kakek Hong tertawa keras. Tawanya sanggup memecah keheningan malam di hutan itu. Bahkan suara jangkrik dan burung hantu yang mendominasi tadi tak lagi terdengar. Yongseung yakin jika ada seseorang yang mencarinya pasti mereka akan langsung tahu letak keberadaannya karena suara tawa kakek Hong barusan.

"Imajinasimu liar sekali, Nak."

"Yeah, bahkan alam bawah sadar saya menciptakan kakek dan semua benda di sini."

"Kamu benar," jawab kakek Hong mengangguk. "Tapi sayangnya alam bawah sadarmu kali ini berkaitan dengan ingatan-ingatan para sahabatmu."

Alis Yongseung bertaut. "Maksud kakek ini nyata?"

"Sudah berapa kali aku bilang padamu, Nak, bahwa tourku ini bukan sembarang tour biasa. Sebentar lagi kamu akan melihat ingatan pertama. Coba tebak kira-kira ingatan siapa yang akan kamu lihat pertama kali?" tanya kakek Hong seraya menebas dahan yang turun menghalau jalan mereka.

"Kak Dongheon mungkin? Atau kak Hoyoung," jawab Yongseung ragu.

"Mengapa kamu memilihnya padahal tidak yakin?"

Yongseung menimang-nimang seraya mengingat kejadian semasa sekolahnya dulu. "Entahlah, saya pikir, mungkin semua ini berawal dari mereka mengingat bagaimana dulu kak Yeonho, kak Gyehyeon dan Kangmin pernah menuduh mereka berdua."

"Hampir benar,"

"Maaf?"

"Mereka berdua memang mengawali tetapi sesungguhnya titik start itu tidak dimulai dari mereka berdua."

"Lalu siapa?" tanya Yongseung bingung. Di antara keenam sahabatnya, Dongheon dan Hoyoung lah yang meninggal lebih dulu. Jadi jika bukan mereka, siapa lagi?

Kakek Hong tidak menjawab. Ia tersenyum ketika mereka sampai di sebuah rumah kecil di perbatasan hutan itu. "Selamat datang di ingatan pertama."

Di sana Yongseung melihat ada seorang wanita berusia dua puluhan sedang menahan sakit sembari memeluk perutnya yang telah membesar. Di samping kanannya ada seorang lelaki yang nampak berumur sama, mungkin suaminya. Lalu di samping kanannya ada sepasang suami istri yang wajahnya menunjukkan tanda-tanda penuaan. Nampaknya sepasang suami istri itu adalah orang tua mereka.

"Tunggu, itu kakek Hong?" tanya Yongseung menunjuk sepasang suami tua itu.

"Benar." jawabnya tersenyum sendu.

"Itu keluarga kakek? Berarti kak Minchan..."

"Di dalam kandungan itu."

Yongseung memperhatikan ekpresi kakek Hong di ingatan itu yang nampak pucat pasi. Mulutnya bergetar terus sembari mengucapkan kalimat yang tidak dapat Yongseung dengar.

Kemudian Yongseung menoleh kesamping menatap kakek Hong yang nampak sangat sendu menatap ingatan itu. "Jangan bilang kalau kakek--"

"Benar. Semuanya dimulai dariku."

"Kakek gila?!"

"Waktu itu aku terlalu berambisi, Nak. Di ingatan itu aku menyesal melihat menantuku kesakitan namun aku tidak bisa menjauh. Semuanya telah terhubung. Sang iblis, dia tidak akan pernah menjauh sampai apa yang ia inginkan berada dalam genggamannya." jawabnya disertai isakan.

"Kakek..."

"Bertahanlah, ini baru awal. Ingatan-ingatan selanjutnya akan jauh lebih menyakitkan."
































Tbc
080321

[iii] Connect | VERIVERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang