2.CME-UKS

18 3 0
                                    

"Mencintaimu sama hal nya dengan menggenggam duri. Sama-sama menyakitkan."

**

Laura meletakkan kepalanya di atas meja, ia berharap agar rasa pusing yang sedang dialaminya bisa segera hilang karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

"Ra, lo gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Meira cemas.

"I'm okay," jawab Laura pelan, hampir tidak terdengar.

Meira tahu bahwa Laura sedang tidak baik-baik saja sejak kejadian di kantin, ia mengumpati Raisa dan Sonya yang selalu mengganggu ketenangan sahabatnya. Laura.

Bel masuk sudah berbunyi, jam pelajaran pun sudah di mulai sejak lima belas menit yang lalu. Rasa pusing yang Laura rasakan tidak kunjung hilang. Laura sudah berusaha keras untuk melawannya, ia tidak mau proses belajarnya menjadi terganggu.

"Sampai di sini ada yang mau bertanya?" tanya bu Fani setelah menjelaskan sebuah materi.

"Bu." Meira mengangkat tangannya membuat semua mata tertuju padanya.

"Iya, Mei, ada apa?"

"Saya izin antar Laura ke UKS ya, bu, dia sakit."

Laura yang sedang mencatat pelajaran pun menoleh ke arah Meira, ia menatap Meira seolah meminta penjelasan kenapa tiba-tiba mengizinkannya kepada bu Fani.

"Ya sudah, kamu antar Laura setelah itu kembali ke kelas!" perintah bu Fani yang langsung diangguki oleh Meira.

Meira yang melihat Laura masih enggan untuk bangun pun menuntunnya, ia segera membawa Laura keluar kelas untuk menuju UKS.

"Lo apaan, sih, Mei? Kenapa juga harus izinin gue ke UKS? Kan udah dibilang, gue baik-baik aja." Laura menyingkirkan tangan Meira yang menuntunnya, dia ingin membuktikan bahwa dirinya baik-baik saja dan kuat untuk berjalan.

"Udah deh, Ra, gue tahu kok, lo lagi gak baik-baik aja," ucap Meira dengan begitu yakin.

Bukan tanpa sebab, Meira mengatakan itu karena memang dia melihat Laura yang sedari tadi memijat pelipisnya.

"Ya, tapi gue gak mau ke UKS, nanti gue ketinggalan pelajarannya bu Fani."

"Terus dengan kondisi lo yang kayak gini emang bisa fokus buat belajar? Udah deh, Ra, kan ada gue! Nanti tinggal nyalin punya gue." Laura bungkam, memang benar yang dikatakan Meira. Dia tidak bisa fokus belajar di saat kepalanya sedang pusing.

Sesampainya di UKS, Meira memastikan Laura agar beristirahat terlebih dahulu, setelah itu dia pamit untuk kembali ke kelas.

Sudah berkali-kali Laura mencoba memejamkan matanya, ia mencoba untuk tidur sebentar dan berharap di saat bangun tubuhnya sudah membaik.

Pintu UKS terbuka sedikit demi sedikit, Laura yakin yang datang kembali adalah Meira namun, dugaannya ternyata salah. Yang datang bukan Meira melainkan Daffa.

Daffa berjalan menghampiri Laura yang masih berbaring, ia mendudukan dirinya di kursi yang berada di samping ranjang.

Tatapan Laura tidak terputus dari Daffa, ia menatap Daffa semenjak dia datang sampai duduk di dekatnya.

"Kenapa hmm?" tanya Daffa sembari mengelus puncak kepala Laura.

Laura menggeleng lemah. "Gak apa-apa."

Bohong. Laura bohong. Baik tubuh maupun hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Siapa juga yang tidak terluka di saat dirinya sedang dipermalukan di depan umum, sedangkan pacarnya justru terlihat tidak Mempedulikannya.

"Kok kamu ada di sini?" tanya Laura.

"Aku lihat Meira keluar dari sini," jawab Daffa. Laura mengangguk mengerti.

"Kenapa, sih, Daff?"

Daffa mengernyit. "Kenapa?"

"Kenapa kamu diam aja waktu aku disakitin sama mereka?" Laura memberanikan diri untuk bertanya, ia menahan dirinya agar tidak menangis.

"Ra-"

"Apa? Kamu mau minta pengertian dari aku? Emang aku kurang pengertian apa lagi, sih sama kamu.

"Kamu minta aku untuk rahasiain hubungan kita ke semua orang? Oke! Udah aku rahasiain, Daff. Bahkan kita udah merahasiakan ini selama 1 tahun. Mau sampai kapan kita seperti ini, Daff?"

Laura tidak bisa menahan tangisnya,air matanya terjun bebas membasahi pipinya.

Daffa menghapus air mata Laura. "Ra, udah, Kamu lagi sakit."

Laura tersenyum mengejek. "Kan yang bikin aku sakit kamu, Daff."

Bungkam. Daffa bahkan sampai tidak bisa membalas perkataan Laura. Apa yang dikatakan Laura memang benar. Terkadang, Daffa juga merasa bodoh, namun tetap saja diulangi.

Selama beberapa detik hening. Mereka berdua memikirkan kebodohannya.

"Kamu keluar, ya, aku mau istirahat" Laura bicara tanpa menoleh, ia tidak sanggup menatap Daffa.

Daffa menghela berat. "Cepet sembuh ya!"

Laura masih enggan menoleh, ia berusaha keras agar tangisnya tidak pecah.

Daffa bangkit dari duduknya, ia mengelus pipi Laura terlebih dahulu. "Aku keluar."

Air mata Laura jatuh seiringan dengan kepergian Daffa. Laura baru menoleh saat pintu benar-benar tertutup rapat.

**

Daffa duduk bersandar pada dinding, tangannya mengapit sebuah rokok. Merokok adalah salah satu cara Daffa mengatasi masalahnya. dengan merokok, Daffa merasakan sedikit ketenangan.

"Woi! Awas kesambet!"
Daffa bahkan tidak terkejut saat Angga mengagetinya. Pandangannya tetap lurus ke depan.

"Mikirin apaan, sih, Daff? Jangan bilang lo lagi mikirin Laura," sambar Kenzie menggoda Daffa.

Semua temannya Daffa tertawa,mereka merasa lucu saat membicarakan Laura dihadapan Daffa.

Yang teman-temannya tahu, Laura adalah seorang perempuan yang mengharapkan cintanya di balas oleh Daffa.

Kasihan!

Tawa mereka semua sontak berhenti, saat Daffa tiba-tiba pergi.

"Eh! Mau ke mana, lo?" tanya Kenzie, namun tidak dijawab oleh Daffa.

Kepergian Daffa yang tiba-tiba membuat semua temannya merasa bingung.

**

*Vote dulu yuk😍


















Call Me Evil (Dilanjutkan Setelah Cerita Kaysa) Where stories live. Discover now