"Aku ke mall depan." Jawaban bagus tanpa perlu berbohong.

Pintu aku buka tanpa halangan. Namun, kakiku kembali berhenti saat Revan memanggil lagi.

"Tunggu, Salwa, saya ikut!"

Astaga!

Aku semakin jengkel dan memilih lari menjauhi kamar hotel. Di depan lift, aku menunggu sampai pintu terbuka. Huh, lama sekali. Sialnya, Revan berjalan begitu cepat dengan langkah yang lebar. Aku terus menekan tombol agar segera terbuka. Aish! Kalaupun nantinya lift terbuka, kemungkinan Revan juga bisa masuk. Maka, aku memilih alternatif lain.

Tangga darurat. Setidaknya, aku bisa lebih cepat darinya dengan berlari.

Saat aku tepat di depan tangga, aku mengumpat. Ini lantai 14. Semoga kedua betisku tidak lepas saat aku sampai di lantai 1. Tapi ini lebih baik daripada bertemu dengan Revan menyebalkan itu.

Sekuat tenaga, aku menuruni tiap anak tangga. Peluh mulai membanjiri seluruh tubuhku. Beberapa kali keringat sampai masuk ke mata, sehingga memberikan rasa perih. Aku berhenti sejenak di lantai 8 sambil mengatur napas. Tidak jauh lagi.

Ting!

[Gue udah di depan mall. Lo di mana?]

[Bentar.]

Langsung aku balas. Ponsel aku masukkan ke dalam saku jaket. Peluh di wajah aku usap, lalu lanjut berlari turun.

Akhirnya sampai. Tenagaku terkuras habis. Hingga untuk membuka pintu lantai satu, tubuhku terhuyung.

Huh.

Namun, aku membeku saat seorang pria tengah bersandar santai di dinding.

"Kamu lama sampainya!"

Revan sialan!

Dia menegakkan punggungnya, kemudian menyodorkan sebotol minuman rasa jeruk padaku.

Aku tidak bisa tidak menerimanya. Minuman itu langsung aku tenggak sampai setengah.

"Kamu sepertinya kehabisan tenaga. Besok saja ke mall-nya, saya yang antar. Kita balik ke kamar."

"Nggak." Aku memotong cepat.

Aku hendak mengembalikan botol minuman pada Revan, tetapi sayang. Isinya masih terlalu banyak untuk dibuang. Maka, aku habiskan sampai tidak tersisa lalu menyerahkannya pada Revan.

"Buang ke tempat sampah sana. Aku mau pergi."

Aku menegakkan tubuh. Menarik napas panjang. Bersiap lari, tapi kakiku seperti seberat batu. Tapi tetap aku paksakan.

"Keras kepala!"

Pria sialan itu! Setidaknya kalau mau hina orang, gunakan suara pelan. Bukan seperti sedang meneriaki maling.

Aku tidak mengindahkan Revan meski terdengar dia mengikutiku.

"Kamu seperti orang sekarat, Salwa. Saya kasihan," ucap Revan yang sudah berjalan di sampingku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now