"Lila ..."--Delila akhirnya menaikkan dagunya, menatap Carla dengan pandangan merana--"baik-baik aja."

Di situasi normal, Carla akan menjitak kepala Delila. Seenaknya saja adiknya itu membohonginya. Namun, entah mengapa Carla tidak sanggup melakukannya. Dia akhirnya merengkuh kepala Delila ke dadanya.

Carla dapat merasakan tubuh Delila menegang dalam pelukannya. Hati Carla bagaikan diremas dan dipelintir ketika tak lama kemudian, adiknya kembali menangis sampai sesengguk-sengguk. Tangannya meremas lengan Carla erat-erat. Seakan tangan itulah tempat Delila bergantung.

"Lila udah capek, Kak.

"Jangan paksa Lila minum obat lagi.

"Lila nggak mau minum obat lagi."

Ucapan-ucapan Delila yang diucapkan dengan terputus-putus di sela isak tangisnya membuat Carla terpaku. Rahangnya mengeras. Bagaimana bisa adiknya memperlakukan Carla seperti ini? Setelah semua kerja keras yang dia lakukan untuk membeli obat Delila.

Carla melepaskan pelukannya, tetapi tetap memegang bahu Delila. Menjaga jarak sepanjang lengan, Carla berkata dengan gigi terkatup. "Kamu jangan ngomong yang enggak-enggak! Obat itu wajib kamu minum, Lila," ucap Carla sambil menekankan suaranya pada kata 'wajib', "agar kamu lekas sembuh."

Delila mendengkus. Dengan gaya khas--yang mengingatkan Carla bahwa walaupun bertubuh bongsor, adiknya masih seperti anak-anak--Delila menghapus ingus dan air matanya dengan lengan baju.

"Kalau gitu, kenapa bukan Kak Lala aja yang minum obatnya?"

***

Delila melirik jam, lima menit lagi sebelum dia harus meminum obat. Biasanya alarm akan berbunyi untuk mengingatkannya agar tidak lupa lagi.

Ini semua ide kakaknya. Carla bahkan akan mengecek ke kamar dan menunggui Delila setiap kali memasuki waktu untuk meminum obat.

Delila bertaruh uang jajan selama seminggu, bahwa sebentar lagi, Carla akan muncul.

"Lila, kamu udah minum obatnya?" Pintu terbuka, wajah Carla terlihat di sana.

Dengan senyum lebar tanpa dosa, kakaknya itu mengasongkan botol obat dan segelas air putih, membuat Delila muak.

Nah, kan!

"Ini baru mau minum, kok, Kak."

Delila menghela napas kasar. Dia tidak menerima botol yang diberi Carla, tetapi mengambil salah satu botol lain lalu membukanya. Dengan enggan, Delila memasukkan tablet berwarna merah muda ke dalam mulut kemudian meraih air putih yang diasongkan Carla.

Sembari memamerkan senyum datar, Delila menganggukkan kepalanya. Dia ingin kakaknya segera pergi dari sana. "Udah, nih, Kak."

Carla mengangguk dan tersenyum ramah. Dia pun meninggalkan Delila yang langsung berlari menuju jendela, lalu memuntahkan kembali obat yang baru ditelannya. Dengan puas, Delila menatap tablet merah muda itu menghilang di balik rimbunnya rumpun bunga hortensia yang tumbuh subur di taman rumah kakeknya.

***

Pagi-pagi sekali, Erika sudah ke rumah Hafiz. Hafiz membuka pintu masih dengan menguap lebar serta tangan mengacak-acak bagian belakang rambutnya.

"Pagi, Ka." Hafiz menguap sekali lagi. "Ngapain lo pagi-pagi banget ke sini? Ada sesuatu yang sangat pentingkah, sampai lo nggak bisa nunggu ntar siang?"

Erika menarik napas panjang. Dia menatap Hafiz yang selalu seperti di ingatannya. Laki-laki dengan muka bantal yang tampak menggemaskan dan tidak berdosa saat berhadapan dengan siapa pun di pagi hari.

Apa Erika tega memberitahu Hafiz soal Carla?

Semalaman suntuk Erika tidak bisa memejamkan mata, alhasil kelopak matanya menghitam, tatapannya sayu. Dia selalu memikirkan soal laki-laki yang kini berdiri di hadapannya.

Tentang Hafiz, Carla, dan Irfan. Tentang hubungan baik persahabatan yang rawan karena seseorang berani menyulut api untuk mulai menghancurkan.

"Erika, lo kenapa malah bengong sendiri?" Hafiz melirik jam tangan yang lupa dia lepaskan semalam. Semoga tidak sampai rusak, karena dia tidak mau membuat Carla kesal.

Masih pukul lima, terlalu pagi untuknya bangun di hari libur. Padahal biasanya, dia baru bangun pukul sembilan. Kecuali tentu saja apabila sudah ada janji dengan Carla, dia akan membela-bela bangun sangat pagi. Hanya demi bisa berdandan cakep agar tidak malu-maluin pacarnya itu. Hafiz menyengir memikirkan Carla.

"Fiz," panggil Erika ragu.

"Kenapa?" Hafiz menggumam sambil menggaruk-garuk pinggangnya dengan kedua tangan seperti orang utan, kebiasaan sejak kecilnya setiap bangun tidur.

Erika menarik napas panjang, lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Carla nggak sebaik apa yang lo lihat selama ini."

"Maksud lo?" Hafiz menyipitkan mata. Dia bahkan kehilangan mood ngantuknya begitu nama Carla disebut-sebut.

"Dia deketin lo, karena dia mau kepopuleran lo aja. Dia punya tujuan lain waktu ngedeketin lo, Fiz. Dia nggak beneran tulus suka sama lo."

Hafiz mendengkus sambil bersedekap di depan dada. "Kenapa lo bisa mikir begitu? Kalaupun memang iya dia nggak serius sama gue dan cuma mau ketenaran gue doang, gue nggak masalah."

"Lo ... lo udah gila? Saking cintanya lo sama dia sampai lo pura-pura buta dan menikmati perhatian palsu dia ke lo?" Erika menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Kalau begitu, gue bilang lagi ke lo. Dia nggak suka sama lo, dia nggak serius sama lo, dia bahkan ada main di belakang lo."

"Main?" Hafiz mengernyitkan dahi.

"Dia selingkuhin lo, Hafiz! Dia ada main sama Irfan di belakang lo!" Erika berbicara dengan lambat, ingin memastikan laki-laki tidak peka di depannya ini mengerti arti ucapannya.

Dia mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan screenshoot yang ia ambil beberapa jam yang lalu. "Lo lihat ini? Mereka main bareng di belakang lo. Farah bahkan bilang, Carla selalu pamer isi chat mesranya sama Irfan ke dia, dan lo masih mau sama cewek kayak gitu?"

Hati Hafiz memanas. Dia tidak tahu apa saja yang sebenarnya terjadi, tapi menelan mentah-mentah semua kalimat Erika sama saja cari mati.

Yang membuatnya lebih sakit hati bukanlah apa yang telah Carla lakukan di belakangnya, tapi teman baiknya, Erika.

Dia tidak menyangka, perempuan yang selama ini menjadi sahabatnya ternyata memiliki sifat seperti ini. Hafiz tertawa pelan.

"Gue nggak nyangka," gumamnya, sembari menatap Erika, "kalau lo aslinya kayak gini."

Erika mengatupkan bibirnya. "Maksud lo gimana?"

"Iya gini, suka banget lo ngegangguin hubungan gue sama Carla. Apa Carla ada bikin salah sama lo, sampai lo mau gangguin hubungannya sama gue?" Hafiz terkekeh pelan, lalu, menggelengkan kepalanya. "Gue bener-bener kaget."

"Gue bilang gini, karena lo temen gue! Gue nggak mau lo sakit hati karena cewek nggak bener itu."

"Cukup, Er! Gue sakit hati sekalipun itu urusan gue, bukan urusan lo. Apa pun yang terjadi sama gue dan hubungan gue, lo nggak berhak ikut campur."

Erika mengertakkan giginya. Sambil mengepalkan kedua tangan, dia mengentakkan kaki ke lantai dengan suara keras. "Lo emang bego, tolol, buta, nggak peka! Dasar berengsek!"

Erika berbalik, pergi meninggalkan Hafiz yang menganga mendapat umpatan sepanjang itu dari orang yang dia pikir ... sangat mengenal baik dirinya.

Nafsu yang MembutakanOnde as histórias ganham vida. Descobre agora