20

14 3 0
                                    

SATU botol lagi obat yang berhasil dia habiskan. Delila tersenyum lebar. Dia melempar-lempar botol obat kosong itu ke udara sambil menghela napas lega. Berpikir seandainya dia tidak perlu minum obat lagi karena merasa dirinya telah sembuh.

Namun, tatapannya terhenti pada kantung plastik yang berada di atas meja belajarnya. Dalam hati, dia tahu apa isi bungkusan tersebut, apalagi logo apotek terpampang begitu jelas.

Dengan ngeri, dia menyodok kantung tersebut dengan balpoin yang dikeluarkan dari dalam tas sekolahnya. Gadis remaja itu berharap bungkusan tersebut akan hilang dengan sendirinya, seperti sulap, yang tidak mungkin terjadi.

Delila menjimpit kantung itu dan menemukan lima botol obat yang sama dengan yang tadi dia mainkan. Delila setengah melempar kantung itu kembali ke atas meja belajar, lalu mundur menjauh. Dia menatap botol obat di atas meja dengan ngeri.

Delila mengerang, sakit di kepalanya kembali terasa. Jantungnya berdebar-debar, di dalam perutnya bagai ada ombak yang bergejolak, mual seakan memrotes sesuatu yang bahkan wujudnya belum terlihat. Bersandar ke tempat tidur, gadis itu bernapas dengan cepat lewat mulut.

Namun, serangannya tidak berkurang. Delila mulai merasakan makanan yang tadi sudah aman di perutnya, merangkak naik di tenggorokan. Delila menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, lalu buru-buru berlari ke arah kamar mandi. Air mata mengaburkan pandangannya.

Pintu kamar terbuka tepat ketika Delila hampir memegang gagangnya, menampakkan siluet tubuh Carla.

"Lil, obatmu udah Kakak taruh .... Oh, kamu kenapa? Lila!"

Dengan kasar, Delila mengeban tubuh Carla. Tanpa menjawab, Delila melanjutkan perjalanannya. Tak lama, gadis itu memperdengarkan suara muntah-muntah dari balik pintu kamar mandi yang terkunci.

Delila dapat mendengar ketukan dan teriakan panik sang kakak di balik pintu. Namun, dia tak peduli. Delila bersyukur tiba di kamar mandi tepat pada waktunya. Setelah membersihkan sisa muntahan, gadis itu berjongkok di lantai kamar mandi. Air matanya menyimbahi pipi tanpa henti. Seakan tangisan tanpa suara dapat menjadi pelampiasan keputusasaannya.

***

Suasana rumah sepi, mereka hanya berdua saja. Agus masih di tempat majikan barunya, yang tidak diketahui Carla siapa. Bi Idah dan Mang Didin sedang pergi mengantar catering. Berta masih belum kembali dari pasar.

Carla berjalan mondar-mandir di depan kamar mandi. Tak terdengar suara apa pun dari dalam. Aneka pikiran buruk datang tanpa diundang. Bagaimana kalau di dalam Delila pingsan? Apakah adiknya itu tidak minum obat lagi?

Dengan geram, Carla mengumpati dan memelototi pintu kamar mandi yang masih tertutup. Dia yakin sekali sudah mengawasi kegiatan minum obat Delila dengan ketat. Namun, sepertinya apa yang Carla lakukan belum cukup baik. Tidak peduli seberapa keras pun dirinya berusaha, bekerja, dan mencoba merawatnya, penyakit Delila selalu saja datang kembali dan mengalahkannya.

Carla menggedor pintu kamar mandi dengan kepalan tangan, memanggil-manggil nama adiknya. Ketika kunci pintu terdengar dibuka dari dalam, Carla mendesah lega.

Penampilan Delila acak-acakan. Rambut panjangnya yang dijepit tampak berantakan dengan ujung mencuat ke mana-mana. Wajah Delila dan kaus bagian depan yang dipakainya basah oleh air. Matanya merah, memberikan keyakinan pada Carla bahwa adiknya baru saja menangis.

Carla menyambut uluran tangan Delila yang bergetar. Dia memapah adiknya menuju kursi di meja makan, lalu segera menyodorkan segelas air putih hangat. Melihat kondisi adiknya yang seperti ini, amarah Carla menguap, hanya meninggalkan rasa iba dan khawatir.

Setelah Delila selesai minum, barulah Carla bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"

Pertanyaan basa basi yang jawaban sesungguhnya sudah jelas terpampang di depan mata Carla. Mana bisa Delila tak apa-apa setelah semua yang dilaluinya? Namun, Delila tidak langsung memberikan jawaban.

Nafsu yang MembutakanOnde as histórias ganham vida. Descobre agora