1. Tamu dalam Wujud Mimpi

40 6 2
                                    

[Athaya POV]

Semua yang terjadi, lebih daripada kisah mengerikan yang selalu diceritakan kakek tua penjual bunga di pinggiran jalan. Bahkan kali ini, satu jeratan mampu membuatku menangis lebih dari 4 kali menangisi tubuh kurus kekurangan gizinya.

Jika kau tahu bagaimana rasanya ketika tubuhmu diperas seperti saat ibu memeras baju jemuran, kau tak akan mengira bahwa ratusan gelang karet dan tali skiping lebih menyeramkan dan menyiksa daripada itu.

Mereka telah sepakat menyiksaku bersama salah satu ruang bersekat sempit, bagian dari sekat-sekat lemari menjulang, tempat menyimpan dokumen kosong milik Baba. Lemari dengan sekat-sekat sempit yang diisi dengan dokumen-dokumen penting itu bersandar pada bentang dinding krem. Cat pilihan Baba yang mewarnai ruang kerjanya.

Tubuhku meringkuk dalam petak lemari tak berpintu yang tingginya tak lebih dari tinggi satu setengah dokumen A4 yang ditumpuk menjulang. Membuat leherku tertekuk hingga sebagian wajahku tenggelam di antara dua lutut yang mulai mati rasa. Laki-laki dengan rambut panjang sebahu itu hanya menyisakan mataku untuk berkedip dan tetap menyaksikan neraka dunia yang dia buat di hadapanku.

Entah apa dendamnya, seakan belum puas, dia memaku dinding-dinding kayu tempatku meringkuk dari arah luar. Membiarkan paku-paku berkarat itu berontak menembus lengan dan kakiku. Pak cukup itu, berkali-kali ia memukul sekat lemari bagian atas. Sebilah kayu yang tepat menempel di kepalaku.

Tunggu. Kepalaku yang mendesaknya.

Aku mengerang kala pukulan-pukulan keras itu seperti hendak memecah kepalaku. Dengung-dengung bising memekakkan membuat sesuatu terasa mengalir dari dalam telinga. Hangat dan perih serta membuat bau anyir semakin pekat di ruang sempit itu.

Aku pasrah diantara erangan kesakitan yang mulai melemah. Satu-satunya yang aku harapkan adalah pelukan ibu yang menghangatkanku setelah hujan-hujanan bersama teman-teman kompleks perumahan.

Begitupun laki-laki yang tergeletak lemah dengan kepala berdarah yang berusaha menggerakkan tubuhnya untuk mendekatiku, tak lebih dari hanya sekedar mampu menggerakkan jemari tangannya, dan memandang sayu ke arahku.

Mataku terpejam. Tenagaku benar-benar lemah. Bahkan untuk sekadar membuka mata, rasanya aku tak berkuasa.

“Harusnya tak begini,” laki-laki berambut panjang itu berkata. Suaranya menggema. Aku memaksa mataku terjaga dan terkejut melihat mata dengan warna iris coklat terang itu tepat berjongkok dan menatapku. Tubuhku mencoba beringsut. Namun hanya menyisakan lebih banyak rasa sakit akibat jeratan ratusan gelang karet dan beberapa paku yang menembus sekat lemari dan menancap di tubuhku.

Lelaki itu duduk bersila di hadapanku. Menghalangi cahaya masuk, semakin membuat ruang sempit ini pengap. Aku mulai berusaha berteriak saat dia menjulurkan tangan dan menyibak anak rambutku. Tubuhku berusaha bergerak di ruangan sempit itu. Tak menghiraukan paku-paku yang semakin mengoyak tubuhku, tak menghiraukan sakit, perih, dan lebam di sekujur tubuh yang terlilit karet gelang.

“Athaya, dengar,” ucapnya sambil mengelus kepalaku.

Aku berusaha menjerit meski dengan suara terbekap kedua lutut. Tanganku yang sudah membiru akibat aliran darah yang tercekat karet-karet gelang itu berusaha menyingkirkan tangannya, tapi tak bertenaga.

Setidakberkuasa laki-laki bersimbah darah yang merintih memanggilku, Baba. Usai pukulan-pukulan benda tumpul yang mendarat di kepalanya, serta tragedi dibanting berkali-kali ke sudut meja kaca, Baba tak punya kekuatan untuk mendekapku yang sangat ketakutan.

“Athaya, dengar!” ucapnya kini berteriak.
Membuatku semakin ketakutan dan mulai berhenti berontak karena semakin lemah.

“Athaya, kau harus hidup. Kau harus tumbuh menjadi anak perempuan yang manis,” dia bertutur lembut.

HurricaneWhere stories live. Discover now