7. "Ohh"

6 4 0
                                    


Zahid duduk memperhatikan Athaya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Berkali-kali ia menyilangkan tangan di depan dada lalu menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Berkali-kali pula dia melihat ke arah Athaya dan sebuah buku di sampingnya bergantian. Kali ini matanya beralih menatap jam dinding, menunjukkan waktu mendekati jam pulang.

“Sadar woii! Bentar lagi pulang,” suruh Zahid ketus pada Athaya yang masih terdiam.

“Ya kalo mau pulang, pulang aja. Kenapa masih disini?” jawab Athaya tiba-tiba sambil memiringkan badan menghadap Zahid.

Zahid terperanjat kaget. “Lo udah sadar?” tanyanya memastikan.

“Emang pingsan harus berapa lama?” tanya Athaya ketus.

Zahid mengerutkan dahi tak percaya. “Gue nungguin Lo dua jam, Ay. Kirain masih pingsan,” ucapnya sambil mengusap wajah kesal.

“Gue gak minta Lo nungguin gue. Gue juga gak minta Lo simpati atau baik sama gue. Pengen pulang ya pulang aja.” Lagi, Athaya berucap dengan nada yang sangat menyebalkan.

Zahid menatapnya sambil menahan emosi. “Terus dari tadi Lo ngapain?”

“Tidur,” jawab Athaya singkat dan jelas.

Zahid beranjak dari tempat duduknya. Dengan tangan kiri yang berkacak pinggang dan tangan kanan mengusap wajah dan rambutnya kasar. Ia sempat mondar-mandir jengkel sebelum kemudian duduk kembali di kursi yang menghadap ke arah Athaya yang masih dengan santainya berbaring.

Zahid menghela nafasnya.

“Hey,” seru Athaya sambil berusaha bangkit dari posisi tidurnya.

Meski dengan tatapan marah dan jengkelnya, dengan refleks Zahid membantu Athaya bangun. “Apa?” sahutnya ketus.

Athaya memandang Zahid yang bersandar di kursi sambil menyilangkan tangan di depan dada. “Gue tanya serius sama Lo. Kenapa Lo ngikutin gue? Kenapa Lo bersikap baik sama gue?” Athaya bersiap mendengar jawaban Zahid.

Zahid menghela nafas panjang. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Athaya. Mengikis jarak diantara keduanya dan membuat Athaya kembali merasakan perasaan asing di hatinya. Beberapa kali deheman pelan Athaya mengisi ruang kosong di sekitar mereka. Bersamaan dengan sikap gelagapannya yang tak bisa dia tahan.

“Aya, pertama Lo harus tau kalo gue bukan orang baik. Gue gak baik sama Lo. Gue cuma ngelakuin apa yang  gue mau. Jadi Lo jangan geer,” tegas Zahid.

“Dih, siapa juga yang geer?” sahut Athaya tak terima dengan tuduhan Zahid. Matanya menatap nyalang ke arah mata Zahid yang memandangnya tajam. Namun kali ini dia kalah sebab perasaan asing itu lagi-lagi semakin jelas. Athaya memalingkan wajahnya setelah beberapa saat saling tatap dengan Zahid dalam jarak yang dekat.

Zahid menarik tubuhnya menjauh dari Athaya dan kembali bersandar. “Gue ngejar Lo karena mau balikin barang Lo, Ay,” lanjut Zahid sambil menyerahkan sebuah buku notebook tebal tanpa nama.

Mata Athaya membelalak sambil cepat merebut buku itu dan memeluknya erat. Dia kegirangan sampai dari sudut matanya, mengalir air mata ringan. Meski begitu, Zahid melihatnya dengan jelas. Ia menarik tubuhnya dan kini memperhatikan Athaya yang semakin tak bisa menahan tangisnya. Ia tak menyela. Memberikan waktu untuk Athaya melepas semua perasaannya sambil memeluk buku itu.

“Sepenting itukah buku itu?” tanya Zahid dalam hatinya.

“Kenapa ada sama Lo? Lo nyuri ya?” tuduh Athaya dengan nada tinggi. Matanya melotot ke arah Zahid.

Suasana berubah hening saat Zahid hanya menanggapi dengan tatapan datar. Sementara Athaya masih memandangnya garang. “Gak ada gunanya gue  nyolong buku Lo, Ay. Lo nethink mulu kenapa sih?”

HurricaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang