Sous le Ciel Matinal de Paris

Start from the beginning
                                    

Regi mengangguk.

"Aku punya impian romantis yang mungkin kamu enggak ngerti," tukas Regi.

"Dîtes-moi (ngomong saja)" tantang Gaël.

Regi mengisahkan impiannya mendapatkan pria romantis di Paris

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Regi mengisahkan impiannya mendapatkan pria romantis di Paris. Pria yang memberinya buket bunga setiap bertemu, menulis nama mereka di gembok cinta di Pont des Arts, dinner dengan pemandangan menara Eiffels. Dibacakan puisi atau dimainkan biola, menikmati matahari terbenam di tepi sungai Reine. Di akhir pekan mereka akan berlibur mewah  ke Milan, Roma atau duduk berpelukan di gondola di Venesia.   Dia sengaja melebih-lebihkan. Terselip perasaan senang berhasil menjahili Gaël. Ekspresi serius  pria itu perlahan berubah makin kecut.

Gaël tidak berkomentar. Barangkali merasa syok. Dia merobek potong besar baguette dan mencelupkan ke dalam kopi, lalu berkata dengan tenang, "Aku bisa kasih masukan."

Regi tertegun. Dia tidak berharap Gael menawarkan diri memberikan masukan.

"Oh'ya?"tanya Regi.

Gael mengangguk. "Gampang menaklukan hati pria. Jadi saja diri sendiri.Voila!"

Regi serta merta meninju lengan Gael kesal. Dia benci dengan ungkapan jadi diri sendiri. Menjadi diri sendiri itu bisa-bisa saja kalau tidak bertampang seperti dirinya. Posturnya pas-pasan saja. Tanpa lekukan yang menggiurkan. Kakinya terlalu pendek untuk bisa menggunakan knee high boots dan long coat impiannya macam Gigi Hadid. Wajahnya standar Indonesia. Model macam dia berserakan di daerah Sudirman. Kulit kuning langsat, hidung apa ada adanya, alisnya tipis cenderung tidak terlihat kalau tidak dibantu pinsil alis. Orang kerap memuji mata dan bulu matanya yang lentik. Tetapi, ya hanya segitu. Di sini penampilannya sedikit terbantu berkat Maya yang mewarnai dan mendadani rambutnya. Lupakan jadi diri sendiri. Regi sengaja jauh-jauh ke negara ini agar bisa jadi orang yang baru. Yang berbeda dari dirinya.

"Aku benci jadi diri sendiri," keluh Regi.

"Pourquoi (kenapa)?" tanya Gaël.

Regi menarik napas panjang sebelum bercerita tentang perempuan kuper yang selalu berada di bawah pengawasan orang tua sejak kecil. Sampai dia tidak tahu caranya bergaul dengan orang banyak. Tidak pernah merasakan kebadungan masa kuliah. Tidak tahu caranya jadi orang yang berkelas dan gaul. Dia muak dengan semua itu. Dia akhirnya nekat meminta kuliah di luar negeri. Di Paris dia bisa memulai dari awal. Tidak ada orang yang mengenal sosok Regi yang asli seperti apa. Dia bebas bertransformasi sesuai keinginannya.

"Aku setuju datang ke negara baru. Suasana baru bisa jadi awal yang baru tetapi aku rasa kamu tetapi bisa jadi diri sendiri."

"Kalau aku jadi diri sendiri, enggak mungkin aku bisa jadian sama Mathias. Dia levelnya beda. Terkenal, sukses dan pintar," puji Regi.

"Kamu ingin bisa sampai pada level seperti Mathias?" Gaël mengerutkan dahi heran.

Regi mengangguk pasti.

"Mungkin berat," gumam Gaël.

Regi tanpa sadar memajukan bibir. Pria ini selalu menghancurkan impiannya.

"Aku enggak mengharapkan kamu mengerti. Aku masih punya waktu dua tahun. Aku punya Maya yang siap membantu. Ada Atilla juga. Aku enggak butuh bantuan atau nasehat kamu," ucap Regi judes. "Bukan maksud menghina, lho," tambah Regi buru-buru, khawatir Gaël marah.

Gaël tidak terpengaruh atas ucapan. Entah terbuat dari apa hati pria itu. Dia mengangguk kalem dan kembali mencelupkan baguette ke kopi.

Regi mengernyit geli melihat baguette diperlakukan macam makan kue marie. "Kamu jorok banget," selorohnya.

Bukannya menghentikan tindakannya, Gael malah menyobek baguette

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bukannya menghentikan tindakannya, Gael malah menyobek baguette. Dia menyuruh Regi melakukan hal yang sama yang menurutnya très Français (sangat Prancis). Regi menggeleng cepat. Dia tidak bisa membayangkan seperti apa rasa baguette lembek tercelup kopi itu. Ekspresi geli Regi memunculkan senyum kecil di wajah Gaël. "Ini  juga pelajaran penting kalau mau dapat pria Prancis," ucapnya kembali mencelupkan baguettenya.

Regi tergelak pelan.

Tak terasa matahari bersinar semakin terang. Paris kembali berdenyut. Motor dan sepeda melintas jalanan. Desiran trem terdengar dari kejauhan. Orang-orang perlahan mengalir ke jalanan. Derap langkah sepatu di cornblok bagai irama pagi yang menyadarkan Regi. Dia harus bersiap berangkat kuliah.

"Aku ada kuliah jam sembilan," pamit Regi.

Gaël mengangguk  dan bangkit berdiri.

Mereka berjalan pulang bersama. Di belokan mereka berpisah.

"Merci pour petit déjener (terima kasih buat sarapannya)," ucap Regi. t

"Pas de problème (sama-sama)," jawab Gael. Pria itu menyodorkan tangan untuk bersalaman. Mereka bergenggaman erat beberapa detik lebih lama dari seharusnya.

"Au revoir,"ucap Regi dan segera berjalan cepat ke arah résidence étudiante.

Ketika Regi berjalan beberapa langkah, dia sengaja menoleh. Pria itu masih berdiri macam menunggu dirinya hilang di belokan. Tanpa sadar Regi tersenyum sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa ngobrol panjang lebar bersama Gaël sambil menikmati sarapan.

Love Rendezvous in Paris (Completed)Where stories live. Discover now