13. Romantic Visions

30.5K 2.7K 188
                                    

Grizzly Man - Rockettonthsky

"Mas Naren?"

Fiora telah mengambil posisi; berdiri membelakangi meja pantry—kelewatan tegak seperti tentara sigap yang siap baris-berbaris. Tidak lagi duduk di sisi Ray yang sempat menahan. Baru mau melepas pinggang Fiora saat Fiora mengatakan. "Fiora malu." Ray sempat berkata. "Nggak perlu malu." Tapi akhirnya mengurai lingkaran tangannya. Lelaki itu masih melirik Fiora sebelum memutuskan bangkit. Bukan ke arah suara yang memanggil, tetapi Ray malah ke balik pantry untuk mengisi ulang air minum ke gelas Fiora dan dirinya, ketambahan satu gelas lain untuk persiapan."Minum dulu, Fiora." kata Ray santai, sebelum meneguk airnya sendiri. Fiora menggeleng, tidak membalik tubuh sebab saat itu, arah matanya yang tegang sudah mendapati siluet seorang wanita yang berjalan ke arah tempat mereka berada.

"Ada tamu ya?"

Sebuah sapaan halus di saat Fiora menemukan keterkejutan yang sama, dengan dirinya, di mata seorang wanita yang jika ditebak berada di umur kepala empat. Tubuhnya yang ramping dibalut belted waist midi dress soft yellow Jill Sander, menenteng mini clutch bag putih, berjalan anggun di atas brown summer charms Loro Piana. Garis-garis menawan masih terpulas jelas di wajahnya yang ramah. "Ibu tidak menemukan sandal rumah di depan jadi Ibu tetap pakai loafers ini." Wanita itu melirik kaki Fiora. "Oh, nanti Ibu belikan lagi sandalnya ya. Tapi, bukannya waktu itu ada beberapa pasang?" Di belakang wanita itu, diikuti seorang pria paruh baya yang nampaknya adalah sopir keluarga Suryadiningrat, menenteng dua plastik putih besar sepertinya berisi bahan makanan.

"Saya taruh di sini ya, Bu?" tanya Pak Sopir sopan, meminta izin untuk meletakkan bawaan di atas meja pantry. "Iya, taruh di sana saja, Pak. Suwun."

Sopir sedikit membungkuk hormat. Tersenyum sopan pada Ray yang berujar. "Terima kasih, Pak." Melenggang setelahnya. "Nggih, Den. Non..." Menyapa ramah Fiora yang mengangguk kaku.

Mata Fiora ditahan melebar saat melihat wanita paruh baya yang ada di tengah-tengah dirinya dan Ray menatap lurus-lurus dirinya—tidak kalah lekat dengan Ray saat melihatnya dan serius, sebelum mendekat. Jantung Fiora sudah sangat berdebar; takut, khawatir, gugup, bagaimana harus bersikap di hadapan calon mertua—sudah sangat jauh sekali pikiran Fiora. Kakinya refleks bergerak mundur tetapi tidak bisa. Untuk selanjutnya, Fiora menarik gumpalan yang mencokol kerongkongannya, lega.

"Halo," sapa wanita paruh baya yang memiliki harum lembut bunga, teramat ramah seperti parasnya yang cantik. Senyumnya sangat menenangkan. "Saya Anjani. Ibu Narendra." Itu adalah undangan perkenalan, sudah seharusnya Fiora membalas, tidak kalah ramah, bukan kikuk. "Fiora, Tante..." Suaranya malah seperti tikus kejepit.

"Fiora? Nama yang manis seperti orangnya," ujar wanita bernama Anjani ramah, senyumnya kian menawan. Fiora yang senang oleh ungkapan welcome itu secara ragu menerima uluran tangan wanita yang adalah Ibu Ray—menjadi tahu Ray dipanggil Narendra, nama tengah lelaki itu, oleh keluarganya, lucu. Ingin ikut mengembangkan senyum meski kaku. "Santai saja ya, Fiora?" Ibu Ray kemudian melanjutkan, sambil menepuk halus lengan bawah Fiora. "Saya ke sini cuma mau kasih makan anak lelaki saya yang nggak pulang-pulang padahal ini akhir pekan." beritahunya terdengar seperti sindiran untuk anak lelakinya yang jelas-jelas mendengar, tetapi tetap saja bersikap santai. Untuk ini, Fiora akhirnya tersenyum kecil, lebih luwes dari sebelumnya. Anjani Nararya Suryadiningrat tersenyum bersama Fiora. "Kamu ikut makan malam bersama kami ya?" ajak Anjani sebelum berlalu mengecek bahan makanan usai meletakkan mini clutch bag-nya di sebelah bungkusan plastik.

BROKEN METEOR (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang