Pasca-menikah

502 80 25
                                    

Di kamar hotel yang sudah dihias khusus untuk pengantin tak berarti buat Senja dan Langit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di kamar hotel yang sudah dihias khusus untuk pengantin tak berarti buat Senja dan Langit. Selesai membersihkan badan, mereka duduk kikuk di tepi ranjang saling memunggungi. Mereka bingung. Apa yang bisa dilakukan berdua di kamar itu?

Di tengah kesunyian, perut Senja keroncongan. Bibir Langit mengembang senyum geli. Lantas dia mengambil dompet yang tersimpan di laci nakas bersama ponselnya. Langit beranjak dari tempat tidur.

"Mau ikut enggak?" tanya Langit sambil berjalan tak acuh ke pintu.

"Mau ke mana?" pekik Senja buru-buru mengambil ponselnya di atas nakas. Dia tidak membawa tas, apalagi dompet. Bergegas Senja mengejar Langit.

Senja menyamakan langkahnya dengan Langit menuju lift. Beberapa saat mereka menunggu, akhirnya lift terbuka. Senja berdiri di belakang Langit, dia benar-benar lapar karena seharian sibuk menemui tamu sampai lupa makan. Saat lift terbuka, mereka langsung jalan keluar hotel. Sudah larut malam, restoran di hotel pasti juga sudah tutup.

"Kita mau ke mana sih?" tanya Senja tetap berjalan di samping Langit menyusuri trotoar.

"Cari makan."

"Hah? Kamu gila? Aku pakai piama begini, Lang."

Langit menoleh, Senja mengenakan setelan piama maroon berbahan sutra lengan pendek dan celana panjang. Rambutnya masih setengah basah, tampa make up pun wajahnya tetap glowing.

"Enggak ada yang protes, kan, kamu keluar pakai piama?"

"Aku malu, dilihatin orang."

"Mana yang lihatin kamu? Biar aku congkel matanya." Langit berseloroh untuk mencairkan suasana canggung di antara mereka.

"Ih, apaan sih!" Senja mendorong lengan Langit sambil mesam-mesem.

"Kamu pernah makan di pinggir jalan enggak?"

"Pernahlah!"

"Yakin? Entar sakit perut." Langit melirik Senja sambil setengah meledeknya.

"Enggaklah! Aku sudah biasa kulineran. Makan di tenda biru juga bisa."

"Sudah adaptasi ternyata." Walaupun suara Langit lirih, tetapi Senja masih bisa mendengar.

"Kamu pikir aku enggak bisa makan di angkringan, tenda biru, lesehan di trotoar, gitu?"

"Dilihat dari gaya hidupmu, sepertinya enggak mungkin."

"Lang, aku tuh bisa adaptasi. Ke mana pun kamu bawa aku, aku bisa menempatkan diri. Sekalipun kamu bawa aku ke hutan, jangan khawatir, aku bisa bertahan. Aku bukan orang yang hidup bergantung pada pertolongan orang lain, aku bisa hidup dengan usahaku."

Langit hanya tersenyum. Setidaknya Senja sudah tidak sebal padanya dan tidak lagi mengungkit masalah sepele itu. Sampai di ujung jalan, mereka melihat tenda biru, kain bergambar bebek, lele, dan ayam, khas dengan tulisan nama daerah di Jawa Timur, Lamongan.

AVIATION IS JUST A LOVE STORY (Airman punya segudang cerita)Where stories live. Discover now