05. Pria Tua dan Gadis Misterius

93 20 283
                                    

Sejak subuh Adira sudah bersiap

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sejak subuh Adira sudah bersiap. Padahal dia bukan akan melaksanakan MOS, tetapi ribetnya minta ampun. Lilis hanya tersenyum melihat tingkah Adira. Seperti baru masuk SMA saja.

Adira sudah siap, dengan menggendong tas dan berkaus kaki putih ia turun. Di meja makan sudah ada kotak bekal berwarna biru yang kalau dilihat dari jauh masih mengepul menandakan isinya masih panas. Bergegas ia duduk di kursi untuk sarapan pagi.

"Pagi, Bunda. Pagi, Mbok," sapa Adira riang.

"Pagi, Sayang. Kamu mau makan sama nasi goreng atau yang lain?" tanya Lilis yang masih wira-wiri menata meja makan.

"Nasi goreng aja, Bun."

Tangan Lilis kemudian mengambil satu setengah centong nasi goreng dan memberikan piring itu pada Adira. Tangan Adira mencomot timun dan tempe goreng tanpa tepung yang berada tak jauh darinya. Pagi itu Adira makan dengan lahap sekali, seperti tak makan berhari-hari.

Gunawan duduk dan menaruh uang jajan di samping piring Adira. "Ini uang jajannya, jangan beli yang aneh-aneh." Adira tersenyum sebagai respons. Karena mulutnya masih mengunyah.

Gunawan beranjak pergi, ia harus berangkat pagi karena ada pekerjaan di kota yang cukup jauh dari rumah. Sebelum pergi ia mencium kening sang istri. Melihat hal itu Adira tersenyum. Dirinya senang selama ia menjadi anak bunda dan ayahnya selalu akur.

Jam di tangan Adira masih menunjukkan pukul 06.25, tetapi dirinya sudah berdiri di depan gerbang sekolah barunya. Gerbang berwarna hitam yang menjulang tinggi, bangunan terlihat masih bagus, apalagi catnya--mungkin dicat ulang--. Terdapat pohon besar yang di dekatnya, ada kolam dengan air mancur juga.

Pagi itu ia diantar oleh bundanya dengan motor matic baru yang dibelikan oleh Gunawan. Ia minta sampai tiga hari untuk diantar jemput. Biar hafal jalan dulu alasannya. Padahal ia merasa gugup dan takut.

Saat kakinya melangkah masuk, ia merasakan hawa yang berbeda. Adira seperti terpojok, terintimidasi, dan ada rasa takut dalam dirinya. Namun, ia tak mengerti mengapa ada rasa seperti itu. Mencoba menghiraukan rasa itu. Perlahan masuk, netranya dikejutkan dengan keindahan dalam sekolah itu.

Sekolah Adira tertata rapi. Terdapat lapangan di tengahnya, letak kelas-kelas mengelilinginya. Dengan taman bunga disetiap depan kelas, membuat mata Adira terpana. Ada juga pohon-pohon buah yang sudah cukup besar di taman itu.

Adira bingung, ia harus ke mana dan harus bertanya ke siapa. Sementara sekolah masih sepi, mungkin hanya ada dirinya. Ia mengembuskan napas kasar. Memegang ujung tali tasnya, dan mencoba mencari murid lain. Berharap sudah ada yang berangkat selain dirinya.

Ia sudah tahu masuk ke kelas apa, karena kemarin Pak Kepala Sekolah sekaligus teman ayahnya sudah memberitahunya. Hanya saya kelasnya yang belum ia ketahui.

Saat berjalan di koridor di antara bangunan kantor guru dan ruang tata usaha--Adira tahu karena ada papan nama di atas ruangan yang ia lewati--ia dikejutkan dengan kehadiran sosok pria paruh baya yang membawa sapu. Saat menengok ke arahnya, wajah kakek itu pucat, tetapi senyuman ramah terpatri di sana.

Di Balik Mata BatinWhere stories live. Discover now