08. Mimpi

57 15 149
                                    

Langit biru sudah hilang, kini langit malam bertabur bintang tengah menyapa penglihatan manusia

ओह! यह छवि हमारे सामग्री दिशानिर्देशों का पालन नहीं करती है। प्रकाशन जारी रखने के लिए, कृपया इसे हटा दें या कोई भिन्न छवि अपलोड करें।

Langit biru sudah hilang, kini langit malam bertabur bintang tengah menyapa penglihatan manusia. Di kamar yang nyaman, Adira mulai bersiap tidur. Perut yang kenyang memaksa mata untuk terpejam. Sebelum terhanyut ke alam mimpi, ia menutup mata seusai berdoa. Ia berharap, malam ini tidak ada hal-hal aneh, apalagi mimpi yang membuat hidupnya tak tenang.

Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Tubuh Adira yang awalnya terlelap dengan nyaman, mulai bergerak gelisah. Namun, mata masih terpejam. Entah mengapa, malam itu keadaan di sekitarnya sunyi, bahkan tidak ada angin yang berembus. Sementara, bulan terlihat bersinar dengan terang, bentuknya bulat sempurna. Ya, bulan purnama.

"Nduk," sapaan ramah mamasuki indra pendengaran Adira.

Adira menoleh dan melihat sekeliling. Ia bingung, pasalnya ia sudah tidak berada di kamarnya. Bahkan, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada ruangan putih. Bukan. Bukan ruangan, lebih seperti … dimensi lain mungkin?

Ini keduakalinya ia berada di sana. Ia masih ingat betul kejadian pertama kali mengunjungi tempat itu. Waktu itu ada Eyangnya yang mengatakan bahwa ia harus terbiasa dengan keadaannya sekarang. Saat itu ia bingung apa yang dimaksud Eyangnya itu. Alhasil, ia tidak bisa tidur dan berakhir pergi ke sekolah dengan kantung mata yang cukup hitam.

"Cah ayu," panggil seorang pria tua dengan jubah putih serta senyum ramah terpatri di wajah tuanya.

"Eyang," teriak Adira dan langsung memeluk Eyangnya.

"Eyang, Adira baru mengerti yang dimaksud Eyang kemarin. Ternyata sekarang aku bisa melihat mereka," ucap Adira menatap sedih Eyangnya.

"Nduk, kamu harus terbiasa. Jangan takut." Eyang Suseno mengangkat wajah Adira dan menatapnya dengan penuh kasih sayang.

"Awalnya Adira tidak percaya, tapi setelah bisa melihatnya langsung … ternyata mereka benar adanya. Mereka sangat menakutkan, Eyang," keluh Adira manja.

"Sayang, mereka tidak semenyeramkan itu. Kamu harus menerimanya."

"Tapi, Eyang. Tutup saja pengelihatan ini. Aku sama sekali tidak menginginkannya," keluhnya lagi.

"Apa yang kamu miliki bukan datang tiba-tiba, Cah ayu. Kamu sudah memilikinya sejak kamu lahir dan kamu tidak bisa menolaknya." Adira menatap Eyangnya sendu.

"Sudah, jangan mengeluh lagi. Agar kamu tidak takut, Eyang akan memberimu teman. Ia akan menjaga dan mengajarkanmu tentang kelebihan yang kamu miliki." Adira tersenyum. Meski sebenarnya ia tak menerima sepenuhnya. Namun, mau bagaimana lagi. Apa yang diberikan Illahi pasti memiliki alasannya tersendiri.

Atensi Adira beralih, yang awalnya menatap Eyangnya, kini menatap sosok yang muncul tak jauh dari tempat Eyangnya berdiri. Sosok itu muncul dengan senyum ramah. Hawa yang ia rasakan sejuk, damai, dan … nyaman.

Saat sedang memperhatikan sosok itu, Adira harus kembali menatap tak percaya pada Eyangnya karena mengatakan demikian. "Sebenarnya, dia sudah menemanimu sejak kamu menerima kekuatan itu, artinya dia ada sejak kamu kecil. Namun, ia tidak menampakkan dirinya karena Eyang belum resmi menyerahkan dia menjadi penjagamu."

Di Balik Mata Batinजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें