Rena jelas mendengar hal itu, meski mereka berucap di belakang. Ia semakin erat mencengkram tali tasnya, menyalurkan seluruh emosi yang mati-matian ia tahan. Rena tak akan mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya, cukup keributan minggu lalu membuat ia akhirnya menjalani masa skorsing dan image buruk di mata rekan seprofesinya.

"Iya, apalagi katanya selingkuhannya salah satu Dokter di sini," sahut perawat itu, mereka tampak biasa saja membicarakan Rena yang berjarak tak jauh dari mereka.

Rena berdecak, melihat lift yang tak kunjung terbuka. Ia sudah tak tahan dengan tatapan orang-orang yang secara terang-terangan menatap dirinya dengan ekspresi iba.

"Eh, udah denger belum. Kalau Dokter Vera resign?" Suara di belakang Rena menarik perhatiannya, telinganya mendengarkan dengan jeli percakapan dua suster yang sedang ikut menunggu lift terbuka.

"Iya, katanya si bukan resign, tapi dikeluarin karena hamil."

"Serius?"

"Ya katanya, soalnya kemarin gue lihat juga waktu Dokter Vera datang dan langsung dipanggil ke ruangan Direktur. Terus pas pulangnya, dia kaya nangis-nangis gitu."

"Kasihan ya, mana masih muda."

"Lebih kasihan Dokter Rena, udah mau nikah beberapa minggu lagi, eh malah nggak jadi karena ditikung sahabatnya sendiri. Miris banget 'kan? Berasa lagi di prank sama takdir, udah seneng mau nikah malah gatot." Tanpa mereka sadari kalau orang yang sedang dibicarakan berada di depannya. Hingga sebuah suara membuat keduanya terkejut dan seketika mengatupkan mulutnya.

"Pagi Dokter Rena." Salah seorang petugas kebersihan menyapa Rena.

Rena lantas menoleh, tersenyum manis pada wanita seumuran dengannya yang sedang mengepel lantai di dekat lift. "Pagi Ri, sudah sarapan?" Rena memang terkenal sangat ramah dengan siapa pun, baik itu petugas kebersihan sekalipun.

"Sudah Dok," jawab Riri bertepatan dengan lift yang terbuka.

"Oh yaudah, semangat kerjanya. Saya masuk duluan," kata Rena, dibalas anggukan kepala oleh Riri.

Rena sudah masuk, namun kedua perawat yang tadi sempat membicarakan dirinya malah masih terpaku di luar lift, mereka terlihat salah tingkah.

"Kalian tidak masuk?" tanya Rena.

Sontak keduanya menggelengkan kepala bersamaan. "Tidak Dok, masih nunggu teman. Dokter silakan duluan saja, nanti kita naik lift berikutnya kalau teman sudah datang."

"Benar Dok, kasian kalau ditinggal, soalnya tadi udah minta ditungguin." Perawat satunya menimpali, memperkuat alibi temannya agar Rena tidak curiga.

Rena tahu kalau keduanya berbohong, tapi seakan ia tak mendengar semua gunjingan tadi, ia hanya tersenyum tipis pada kedua perawat itu, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya.

"Kalau begitu saya duluan," ucap Rena, menekan tombol lift.

"Iya Dok," sahut kedua perawat itu yang makin salah tingkah, merasa tidak enak hati karena sudah membicarakan Rena.

"Makanya Mba, kalau punya mulut dikontrol. Itu mulut kok kaya rem blong!" sarkas Riri yang ikut geram dengan para perawat di rumah sakit yang hobi membicarakan aib orang.

"Heh, diem kamu. Jangan ikut-ikut, kerja aja yang benar." Salah satu perawat sewot kepadanya.

"Ye, dikasih tahu juga, kok malah ngamuk. Emang susah kalau udah kecanduan gibah, doyan menikmati hoaks. Astaghfirullah." Riri berdecak seraya geleng-geleng kepala, miris. Ia pun melenggang pergi membawa ember pelnya, meninggalkan dua perawat yang menggerutu karena ucapannya.

Marry Me (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang