Awal Mula Petaka

257 51 24
                                    

Usai berbincang kecil, aku dan Ayah kemudian berangkat menuju kediaman keluarga Qian, keluarga yang mengundang Ayah dan aku untuk makan malam bersama di rumah mereka.

Kami diantar oleh Pak Kim.
Sepanjang perjalanan, aku hanya menandang kosong keluar jendela mengamati pemandangan pusat kota Seoul dengan hati hampa.

Terlalu banyak hal yang mengganggu hati serta perasaanku beberapa hari ini.
Hubunganku dan Brian juga tak kunjung membaik, apa sebaiknya hubungan ini aku sudahi saja ya?

Ah, persetan dengan itu semua.
Yang jelas, sekarang aku jadi penasaran, sebesar apa sih pengaruh keluarga Qian ini sampai Ayah mau menerima ajakan makan malam bersama keluarga mereka?
Sepertinya Tuan Qian ini memang bukan orang biasa.

Belum selesai aku memikirkan berbagai teori mengenai Tuan Qian dalam benakku, tiba-tiba mobil yang di kemudikan oleh Pak Kim berhenti di pelataran sebuah rumah mewah.
Mungkin sedikit lebih kecil dari rumah tempatku tinggal —rumah itu memiliki desain yang lebih minimalis namun tak melunturkan kesan mewah.

Rumah tersebut bernuansa putih dengan aksen warna keemasan di beberapa titiknya.
Indah dan elegan.
Baiklah, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk mengganti suasana kamarku dengan tema yang mirip dengan rumah ini di kemudian hari.

Aku menyingkap sedikit gaunku, menurunkan kaki kiriku lebih dulu dari mobil dengan perlahan.
Ingat, jadilah apa pun sesuai dengan pakaian yang kalian kenakan.
Jika aku sedang menggunakan gaun begini, barang tentu aku harus menjadi wanita anggun yang tahu tata krama.
Setidaknya, aku tidak mau membuat Ayahku, Byun Baekhyun malu karena kelakuanku tidak anggun di depan koleganya.

Ayah meraih tanganku, membawanya kedalam genggaman hangat tangan besarnya.
Kami berdua berjalan masuk di bimbing oleh seorang house maid wanita yang berpakaian hitam putih khas.

Di sisi kiri dan kanan jalan setapak yang terbuat dari batuan alam menuju pintu utama tersebut tumbuh rumput yang sangat hijau dilengkapi dengan kehadiran berbagai tanaman hias yang setahuku berharga fantastis.
Sungguh, pemandangan di halaman rumah ini sangat menyejukkan mata.

"Silahkan masuk, Tuan Byun dan Nona Byun, Tuan Qian, Nyonya Qian serta Tuan Muda Qian sudah menunggu di ruang makan,"
ujar sang house maid dengan ramah.

Sial.
Tuan Muda Qian?
Aku jadi kepikiran dengan seseorang...

"Terima kasih," Ayah menyahut dengan manis.

Ruangan makan sudah semakin dekat dan sialnya jantungku berdebar semakin kencang!

3, 2, 1...

"Selamat datang Tuan dan Nona Byun, senang kalian mau memenuhi undangan kami. Suatu kehormatan bagi kami."

Aku mendongak setelah menunduk selama beberapa saat.
Suara Tuan Qian terdengar sangat bersahabat di telinga, beliau sangat ramah.

Meski sudah terlihat agak sepuh, senyumnya masih cerah, begitu pun Nyonya Qian, beliau sangat cantik serta menawan meski usianya sudah tak muda lagi.
Seketika aku merasa iri.

"Saya merasa sanjungan Anda sedikit berlebihan,"
Ayah mendengkus geli,
"Perkenalkan, dia puteri tunggal saya, Byun Ryuna."

Ayah mendorong pelan punggungku agar berjalan maju, lebih dekat kepada Tuan dan Nyonya Qian yang masih tersenyum dengan manis.

"Halo, Tuan dan Nyonya Qian, senang bisa bertemu dengan Anda semua."
Aku membungkuk formal sambil tersenyum.

"Aih, kamu sangat cantik Ryuna,"
puji Nyonya Qian,
"Silahkan duduk kalau begitu."

Aku dan Ayah kemudian duduk bersebelahan, tepat di hapadapan Tuan dan Nyonya Qian.

"Tunggu sebentar ya, putera kami masih bersiap-siap. Dari tadi anak itu terus saja sibuk mengerjakan segala kesibukannya," Tuan Qian berujar.

Litani ; Qian KunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang