(18) Pengakuan

567 29 1
                                    

Entah aku yang terlalu memaksa takdir atau apa. Tapi ini terlalu menyakitkan untuk di akui. Tentang perasaan ini. Perasaan gila yang terungkap ketika kekacauan ini terjadi.

Semua kejadian ini mungkin memang adil untukku. Untukku yang mengabaikan seorang Adit. Jangka waktu satu tahun menyembunyikan perasaan itu sangat tidak mudah. Apalagi untuk seorang laki-laki.

Aku berjalan keluar pekarangan. Melihat Adit yang sudah bertengger di jok motornya dengan bunda yang berada di samping. Bunda menoleh ke arahku dan melambai.

Aku mengangguk hormat lalu menghampirinya. Dapat kulihat Adit mengalihkan perhatian ketika mengetahui aku mendekat.

"Kamu berangkat bareng siapa?" Tanya bunda lembut sambil mengelus rambutku.

"Sendiri bun." Ucapku sambil tersenyum ke arah bunda.

Brum.

Adit menggas motornya. "Adit berangkat bun."

Sebelum Adit hendak melaju, bunda sudah menahan pergerakan Adit. Bunda menatapku dan Adit bergantian dengan heran. "Kalian kenapa sih? Lagi berantem?"

Adit diam sementara aku sudah bingung dengan tatapan bunda. Dan akhirnya aku menggeleng. "Engga kok bun. Kita lagi punya urusan sendiri aja."

"Emang kalo punya urusan sendiri, kalian ga bisa berangkat ke sekolah bareng?" Tanya bunda dengan muka memelas.

Pundak Adit turun. "Cepet naik." Ucapnya singkat. Aku menoleh pada bunda, lalu berpamitan.

Adit melajukan motornya perlahan. Sungguh sedari tadi aku terus menunggu Adit memulai percakapan. Tapi nyatanya ia hanya fokus pada menyetirnya.

"Gue rasa kita perlu bicara." Ucapku sedikit teriak. Adit diam dan tetap menyetir.

Namun ketika kami sampai di depan kompleks ia berhenti. "Turun." Ucapnya dengan ketus.

"Turun?"

Adit mengangguk, "Ya. Apa lagi yang anda tunggu? Anda sudah mendengarnya dengan jelas."

Aku menatap Adit dengan tatapan tidak percaya. Aku turun dari motor Adit lalu dalam sekejap Adit sudah pergi dengan cepat.

Seperti ini kah karma yang harus aku terima? Apa tidak ada yang lebih ringan lagi? Kenapa Adit harus menjauh dan cuek ketika aku akan berteriak bahwa aku sudah menyadari sebuah kesalahan?

***

Semua anak sudah berhamburan ke kantin ketika beberapa menit lalu bel berbunyi. Di kelas ini hanya ada aku yang masih mencoba menyelesaikan catatanku.

Aku menaruh pulpen dan menutup buku. Aku keluar kelas dan berjalan menuju atap sekolah.

Rugi 'kan ya kalo ke kantin pas waktunya udah sempit. Mending ke atap, dapet angin semilir gitu.

Aku membuka pintu atap dan mendapati seseorang sedang menatap ke lapangan di bawah. Aku mengenali tubuh belakangnya.

Aku berjalan mendekatinya. Dia membalik badan dan menatap kaget ke arahku. Lalu ia membuat raut wajah setenang mungkin dan mencoba pergi.

Aku menahan lengannya, dan ia berhenti. "Kenapa harus ada situasi ini?"

Aku menatapnya yang mengalihkan pandangan dariku. Aku memegang kedua lengannya dan meremasnya sekuat mungkin.

"Kenapa kita harus kayak gini? Kenapa kita ga kaya dulu lagi? Kenapa kita harus kayak orang ga kenal? Kenapa? Kenapa Dit?"

Air mataku mengalir membasahi pipi. Kini Adit membalas tatapanku. Wajahnya tetap menunjukkan dingin, tapi tatapannya meminta tolong agar ia bebas.

Hidden LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora