1. Di Tengah Badai

809 296 54
                                    


Dibantu Carl dan Reo, kami mendudukkan Tara yang pingsan ke kursinya. Gadis itu sudah sangat hebat tidak mati. Dia memakai kekuatannya untuk membawa sebuah pesawat seberat puluhan ton beserta dua puluh lima penumpangnya mengarungi waktu. Dan tidak seperti obyek-obyek yang sebelumnya pernah dikendalikan Tara, pesawat ini sedang bergerak dengan kecepatan lima ratus kilometer per jam.

"Dia sangat lemah," kata Bu Olena yang memeriksa nadi Tara. "Apa yang Tara lakukan barusan bisa dibilang mukjizat. Saya akan menstabilkan aliran darahnya, tetapi Tara harus segera dibawa ke rumah sakit."

"Bu, kita punya tiga menit sebelum badai itu menghantam pesawat ini," kata Billy. "Kita harus memikirkan rencana!"

"Aku bisa memberitahu pilotnya untuk mengubah arah," usulku. "Kita bisa memutar pesawat ini untuk menghindari badai itu."

Tanpa menunggu respon teman-teman, aku berlari ke kokpit. Alih-alih lega, pilot dan kopilotnya kelihatan herat. Sepertinya mereka sadar telah terjadi sesuatu.

"Nona Darmawan," si pilot mengetuk-ngetuk jam tangannya. "Saya tidak tahu apa yang terjadi. Barusan kita berada di tengah-tengah badai, kemudian mendadak semua berubah tenang begini dan jam tangan saya rusak."

"Jam yang lain juga," timpal si kopilot sambil mengecek peralatan di kabin. "Kami sudah mengecek. Semua peralatan normal, kecuali jam. Kedengarannya mustahil, tapi saya rasa entah bagaimana ada yang memundurkan waktunya."

Tiba-tiba Bu Olena muncul di belakangku dan mengacungkan jarinya. Pilot dan kopilot itu menegang seperti tersambar listrik dan membeku.

"Maaf, Jen. Saya harus melakukan ini. Mereka tak boleh tahu tentang para pengendali," kata Bu Olena sambil meringis. "Kedua pramugari di belakang juga sudah diurus. Saya akan mencoba mengendalikan darah pilot dan kopilotnya supaya mereka tetap sadar dan bisa mengemudikan pesawat, sambil menahan aliran ke arah bagian otak yang merekam memori untuk mencegah mereka ingat kejadian ini." 

"Apa saya bisa membantu, bu?"

"Ini pengendalian tingkat tinggi, Jen," kata Bu Olena. Jari-jarinya menari seperti sedang memintal. "Kamu harus segera kembali ke belakang."

"Baiklah. Tolong dibantu ya, bu."

Sekarang aku yakin soal desas-desus di sekolah yang bilang bahwa Bu Olena adalah agen Interpol sebelum menjadi guru. Aku bahkan tidak tahu kalau aliran darah bisa memengaruhi ingatan. Tapi biar itu kupusingkan nanti. Bu Olena pasti bisa mengatasinya.

Kututup pintu kokpit dan kembali ke belakang.

"Badai itu menerjang kita secara tiba-tiba," Reo sedang memberitahu anak-anak yang lain. "Kita semua sedang tertidur ketika angin itu menghantam pesawat ini. Aku bisa merasakannya."

Sebagai pengendali angin, pastilah Reo bisa merasakan kemunculan tiba-tiba badai itu. Seperti Carl yang bisa menebak materi penyusun sebuah benda karena dia pengendali wujud, atau Meredith yang bisa merasakan akar-akar bertumbuh di tanah karena dia pengendali tumbuhan.

"Kalau begitu, apa rencananya?" Karina menggigiti kuku-kukunya yang berlapis kuteks pink mentereng dengan panik. "Badai itu pasti akan menjatuhkan pesawat ini!"

Semua orang berpikir keras. Apa yang harus kami lakukan?

"Reo!" Ide ini muncul begitu saja di kepalaku. "Apa kamu bisa mengendalikan badai itu?"

Reo Sahara menelan ludah. "Butuh pengendali cuaca untuk menaklukkan badai itu, Jen. Kurasa aku bisa mencoba mengendalikan angin di dalamnya, tetapi urusan petir, hujan, dan awan-awan tebal itu...."

THE NEW GIRL 2: ILLUSION [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang