10. Sorry, Cia

Mulai dari awal
                                    

Mendecak, Ceysa pun memaksa. "Jawab aja napa, sih."

"Mau lo kenalin ke nyokap lo? Oke. Namanya Rosa Narendra."

Ceysa mengangguk kecil.

Sejak memasuki rumah keluarga Narendra ini, tampilan yang disuguhkan langsung disimpulkan Ceysa jika rumah ini mengusung konsep Skandinavia walau terdapat beberapa unsur khas Jawa-setahu gadis itu, ayah Alden berasal dari Jawa-seperti lampu gantung, sebuah tokoh wayang Arjuna, hiasan dinding dari kayu dengan ukiran aksara Jawa, serta gamelan.

Satu hal yang membuat Ceysa kagum dan merasa rumah ini sangat berbeda dengan lantai tiga di rumahnya adalah dari segi kerapian. Semua perabotan begitu simetris dan memiliki konsep warna-cokelat dan cream-sehingga tampak begitu menawan meski simple.

"Ini, Bun, yang bikin Mas sakit," lapor Alden.

Ceysa yang peka terhadap situasi menoleh, memakukan tatapan pada wanita yang tadinya menghadap layar laptop mulai beralih memandangnya.

"Lah, sejak kapan Mas sakit?" tanya Rosa. Beralih ke perempuan cantik di samping anak pertamanya, wanita itu menyunggingkan senyum.

"Selamat pagi, Bu Rosa. Saya Ceysa, teman sekolahnya Alden." Ceysa memperkenalkan diri, tak sedetik pun senyuman sopan hilang dari bibirnya.

"Ah, panggil tante aja. Eh, bunda juga boleh banget."

Ceysa mengangguk pelan. Sejak dulu Kiran mengajarkannya untuk memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan Bapak atau Ibu. Tidak semua orang suka dengan panggilan akrab Om atau Tante, alasannya. Kalau diperbolehkan seperti ini baru diikuti.

"Duh, cantik banget Ceysa. Mirip Bunda pas masih gadis!" pekik Rosa.

"Terima kasih, Tan-"

"Makanya Mas suka," sambar Alden.

Rosa menggeleng pelan. Perlahan ia beranjak, menggiring dua remaja itu untuk duduk di sofa cokelat sekadar untuk bercengkerama dan sedikit menginterogasi gadis pertama yang dibawa putra sulungnya ke rumah.

"Ceysa satu kelas sama Alden?"

"Enggak, Tante, saya sama Alden beda jurusan. Saya di MIPA," jawab Ceysa.

Alden mengangguk membenarkan. "Mau ikut OSN kimia kabupaten dia, Bun. Mingdep seleksinya. Pinter banget, wawasan luas, cantik, sopan lagi. Sayangnya gak mau sama Mas," ocehnya.

"Bunda malah heran kalau mau sama kamu. Emang di diri kamu apa yang bisa dibanggain? Kerjanya juga keluyuraaannn mulu!"

"Jleb banget, Bun."

Ceysa terkekeh geli mengingat di luaran sana, Alden dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara kecuali padanya. Bukan dingin, tepatnya cuek.

Rosa mendengus kecil. "Awas aja nanti Bunda dapet kabar gak enak dari sekolah atau nauzubillah kantor polisi. Dikira sekolah pake daun? Hobi kok buat onar sambil bolos. Mending Bunda nikahin aja kamu!"

"Yes!!!" Tangan Alden mengepal ke udara seiring lirikan mengarah pada gadis di sampingnya. "Nikah sama Ceysa ya, Bun?" candanya.

"Gak. Bunda gak mau masa depannya Ceysa suram!" semprot Rosa.

Alden mencibir, menyalakan ponselnya kemudian membuka salah satu aplikasi chat. Di bawah dua kontak yang dia sematkan, terdapat nama Cia.

Cia
kamu suka jco kan??

Lelaki itu tak sedikit pun memiliki niat untuk membalas, lebih baik membuka grup personel inti Brigenzz dan menanggapi guyonan garing mereka, kemudian kembali menatap sang ibu dan Ceysa yang membicarakan soal investasi atau apalah itu.

HOLLOW Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang