5. ANJANI

36K 7.2K 768
                                    

"Poffertjes, Ni," ucap Arya sambil memberikan Anjani kue kesukaannya. Keduanya kini tengah duduk di kursi kayu halaman belakang rumah ketika malam tiba. Anjani memakan kue itu dengan santai sambil menatap pemandangan halaman belakang rumahnya. Terdapat tiga bangunan di area kadipatennya. Area depan adalah tempat keluarganya tidur, area belakang adalah kebun kecil dan tempat abdi dalem tidur yang mana di sebelahnya adalah dapur, kemudian satu bangunan lagi sebagai gudang.

Ketika melihat sedikit lebam di wajah Anjani, Arya tentu saja marah -sangat marah, namun ia tidak ingin adiknya mengingat lagi peristiwa itu. Arya hanya ingin menghibur adiknya dan berusaha sebaik mungkin membuat Anjani lupa akan semua masalahnya. Sejak tadi, tidak ada yang berani datang ke kamar Anjani, bahkan Rara pun tidak. Ketika malam tiba, barulah Arya memberanikan dirinya untuk mengajak Anjani keluar, agar ia bisa mengobati lebam adiknya.

"Jangan mati duluan, Ni. Kamu belum bayar utang poffertjes sama buku kamu ke Kangmas. Kalau udah bayar, baru boleh mati," gumam Arya sambil berlutut di depan Anjani, kemudian mengobati lebam si sudut bibir Anjani.

Anjani langsung memukul kakaknya dengan pukulan gemasnya. Arya langsung meringis, merasakan sakit. "Adik durhaka kamu, Ni," keluh Arya yang mengundang tawa ringan Anjani.

"Tanda cinta Anjani," canda Anjani sambil menyuapi kakaknya poffertjes. Melihat tawa adiknya sudah lebih dari cukup untuk membuat Arya merasa lebih baik.

"Makan yang banyak, Ni. Lihat, kamu udah kayak tulang berjalan," gumam Arya sambil menggoyangkan tangan Anjani, untuk membuktikan betapa kurusnya gadis itu.

"Kangmas mau Anjani berikan tanda cinta lagi?" ancam Anjani.

Arya tertawa lagi, kemudian menarik adiknya itu ke dalam pelukannya. Dipeluknya Anjani, satu-satunya saudara kandung yang ia punya, dengan erat.

"Maaf..." gumam Arya lagi. "Kangmas ndak bisa jadi saudara yang baik bagi kamu."

Anjani merasakan matanya mulai berair lagi. "Memang," gumam Anjani, namun suaranya terdengar seperti sedang menangis.

Hal itu membuat Arya tertawa, namun juga tak bisa menyembunyikan kesedihannya. "Kangmas kutuk kamu jadi batu, baru tahu rasa," gumam Arya lagi, berusaha meringankan suasana di antara mereka.

Anjani balas memeluk Arya dengan sangat erat sambil menitikkan air matanya. Tak jauh dari sana, seorang pria paruh baya berdiri dengan wajah lelahnya, mendengar semua percakapan anaknya. Pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kalung yang berisikan foto seorang wanita pujaan hatinya -Padmi, ibu kandung Anjani dan Arya.

"Raden, ke sini lagi?" tanya sang kusir kaget, ketika sang raden menyuruhnya untuk berhenti di tempat yang sama selama tiga hari berturut-turut

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Raden, ke sini lagi?" tanya sang kusir kaget, ketika sang raden menyuruhnya untuk berhenti di tempat yang sama selama tiga hari berturut-turut.

"Ini yang terakhir, Mas, sebelum pulang," gumam Reksa sambil tersenyum tenang. Masih sangat pagi, namun Reksa memutuskan untuk ke tempat itu dengan sepatu hitam di tangannya. Reksa menunggu di pohon mangga itu kira-kira sepuluh menit lamanya setiap harinya di Klaten, dengan sepatu di tangannya. Reksa hanya ingin mengembalikan sepatu itu -setidaknya itulah yang ia pikirkan.

KARSA ✔Where stories live. Discover now