Ceysa tertawa kecil. "Emang udah bosen. Coba lo sekali-kali panggil Cia sayang. Lo sendiri gak bosen manggil sayang terus ke gue?" tanyanya.

"Kan gue emang sayang ke lo, jadi ya gak bosen."

Dibalas ucapan itu dengan senyuman, mereka menghentikan langkah tepat di samping supermoto hitam berpadu merah. Tanpa berlama, Alden mengelap jok belakang yang basah karena hujan menggunakan siku.

"Depannya juga, dong."

"Gak usah," jawab Alden seraya duduk di jok motornya, "ntar hoodie gue makin basah pas lo pake."

Ceysa terdiam, netranya mengikuti pergerakan Alden yang sedang menunduk, menurunkan dua pijakan. Senyuman terulas di bibir. Salah satu sifat Alden yang disukainya ialah pemuda itu benar-benar menghargai perempuan, tampak jelas dari perilaku Alden kepadanya sejak dulu hingga barusan ini.

"Tasnya mana?"

Paham apa yang dimaksud, Ceysa menyerahkan tas biru dongker-nya.

"Nih, dipake yang bener." Sembari menerima tas dengan tangan kiri, Alden memberikan hoodie-nya, tersenyum sabar memastikan Ceysa telah mengenakan jaket bertudung itu dengan baik.

"Tas?"

Alden memberikan tas milik Ceysa. "Topinya dipake." Ia menyuruh, nasib baik gadis itu langsung menuruti. Merasa masih kurang, dia memerintah lagi, "Talinya ditarik biar rapet."

"Ini?" Tangan kanan Ceysa memegang satu tali, belum sempat dikoreksi oleh sang pemilik hoodie, dia menarik tali tersebut kuat, mengundang tawa menggelegar dari Alden. "Jangan diketawain!"

Masih hanyut dalam sisa-sisa tawa, Alden menunduk sejenak, baru setelahnya menarik sebelah tali yang hampir tenggelam hingga kembali seperti sediakala. Dia tersenyum, menarik kedua tali bersamaan hingga tudung hoodie mengerut, mencetak jelas wajah oval Ceysa terlebih setelah dia mengikat kedua tali menyerupai bentuk kupu-kupu.

Cuitan menggoda mengganggu Alden. Tatapannya diedarkan, membuang napas kasar kala menyadari para pelaku ialah Liam beserta delapan personel inti Brigenzz dan juga sang ketua agit.

"Berisik lo!" bentak Alden.

"Heh, Fuckboy, kenapa gak jadian sama yang ini aja biar Cia sama gue?" goda Bara. 

Liam tertawa keras. "Gak dapet Cyan, ngincernya Cia. The power of similar name."

"Naik, Cey." Alden enggan menaruh atensi pada teman-temannya. Dirasa Ceysa sudah duduk sempurna, ia menyalakan mesin motor. "Minggir!" perintahnya pada para kawan yang membentuk kerumunan di hadapan.

"Galak amat." Liam menyingkir sedikit. "Jangan lupa ntar kumpul di angkringan biasa!"

"Iya, Bacot!"

"FYI aja, si Cia masih di depan kelasnya, gue anter pulang boleh gak?" tanya Bara.

Sungguhan, rasanya Alden ingin menghabisi nyawa Bara sekarang juga. Ketua Brigenzz itu memang sangat hobi memancing emosi kepada siapa pun.

Bukan perihal cemburu atau apa, melainkan Alden ingin segera mengantar Ceysa pulang. Gerimis tadi tidak reda, malahan intensitasnya makin kuat.

Melajukan motor, Alden baru menjawab pertanyaan Bara ketika sampai di pintu masuk parkiran. "Serah lo! Anter ke rumah lo buat dikenalin jadi calon mantu bokap nyokap lo juga sabi!" teriaknya. 

"Ck, Alden. Cia pacar lo." Ceysa mengingatkan.

"Status doang, Cey, gue sayangnya ke lo."

Ceysa menghela napas panjang, memilih diam sembari menikmati rintik hujan menerpa wajahnya. Kedua mata terpejam damai, ia masih memegang bagian belakang motor agar jika Alden melakukan rem mendadak, tubuhnya tidak menubruk punggung lelaki itu.

"Kapan gue bisa putusin Cia?"

Mata Ceysa terbuka lebar. "Lo apa-apaan, sih?" kesalnya.

"Lo yang mulai."

"Nyalahin gue?"

Alden mengangguk pelan, membentuk seringaian lebar di balik helm fullface. "Gue aja gak pernah maksain perasaan gue, ini lo—"

"Ada alesannya, beneran."

"Tell me," suruh Alden, menuntut.

Ceysa diam saja. Dia ingin memberitahu sejujur-jujurnya, tetapi tidak siap dengan konsekuensi yang nanti diterima. Bukan dari Alden, tapi Cia.

Andai saja Cia tidak sebenci itu kepadanya, semua tidak akan sesusah ini.

"Malah diem." Alden tertawa datar. "I'm fed up with her."

"I'm fed up with you," balas Ceysa.

"I don't care, I still love you."

"Dih, ngeselin lo!"

"Tapi lo sayang, 'kan?" goda Alden.

"Iya, sayang, deh."

Alden membelokkan setirnya ke kompleks perumahan tempat Ceysa tinggal. "Gak ikhlas amat," ujarnya.

"Tapi lo sayang, 'kan?" tanya Ceysa, menirukan logat Alden barusan.

"Sayang. Cuma sekarang lebih sayang ke Cia," dusta Alden. Ia menarik tuas rem, berhenti tepat di depan rumah megah berwarna cream berpadu putih. Tatkala Ceysa telah turun dan memerlihatkan raut biasa, helaan napas terdengar. "Gak ada acara cemburu, nih?"

Setelah melepas hoodie basah milik Alden, Ceysa menggelengkan kepala. "Malahan bagus," jawabnya, bertolak dengan yang dirasa.

Nasib baik Tuhan memberi kelebihan untuk mengontrol raut wajah, sehingga ekspresi cemburu tidak pernah ketara.

"Kalau gue udah bener-bener sayang ke Cia … lo oke, 'kan?"

Tak kuasa menjawab ya atau tidak, Ceysa menyerahkan hoodie milik Alden, berterima kasih sebab telah mengantar pulang. Usiran halus, tentunya dipahami Alden.

"Ya udah, gue balik dulu." Alden berpamit. Sedetik sebelum menjalankan motornya, ia berkata, "Tapi jangan khawatir, Cey, I've been fallin so deep for you."

Ceysa menunduk, menyembunyikan senyum meski tahu tidak seorang pun sedang menatapnya. Jujur, ada perasaan lega yang kini telah ditepisnya jauh-jauh atas perkataan itu.

Memastikan motor Alden sudah benar menjauh, Ceysa menggerakkan kaki meninggalkan rumah tadi, berjalan terus menuju rumah paling ujung di blok belakang. Kediaman yang terlihat ramai dan selalu dikira orang sebagai perkantoran. Padahal, tidak demikian.

Di sini, banyak kupu-kupu berterbangan.

♠♠♠

some scenes remind me of somethin lmfao

HOLLOW जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें