Bab 22

6.7K 1.1K 141
                                    

Nih kukasih double up dan bab yang panjang...
Mau komentar yang banyak buat up bab 23!

Mana tim Max?

Mana tim Leo?

Mana tim Theo? (Oke dia belum muncul. Tapi berharap ada yang dukung dia 🤣)

 Tapi berharap ada yang dukung dia 🤣)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.























"Bagaimana keadaanmu, Nak?" Kakek Clara datang berkunjung ketika aku sudah sadar. Nancy masih berada di sisiku setelah aku menyelesaikan santapanku yang adalah sup cream hangat dengan roti lembut yang kaya akan mentega.

"Aku tidak apa-apa. Kakek terlalu mengkhawatirkanku." Aku lalu menyesap teh hangat sekali lagi. Nancy dengan perhatian mengambil cangkirku dan menyingkirkannya ke atas nakas yang tidak jauh dariku. "Trims, Nancy."

"Kau pingsan di depan mataku, Nak. Akan sulit untuk tidak mengkhawatirkanmu." 

Itu memang benar. Rasa lelah yang menyakitkan itu juga datang tanpa diduga. Apakah ini efek samping setelah aku bertemu dengan saintess yang memberikanku sesuatu tanpa aku tahu? Bisa saja kan kekuatan sucinya memacu sesuatu dalam diriku yang akhirnya menyebabkanku bisa melihat diriku dalam balutan sosok Renata Indra.

Dan mengingatnya membuatku kembali sedih sampai air mataku kembali turun.

"Nak..." Kakek Clara menyentuh pundakku khawatir. Aku segera mengusap air mata dan berusaha untuk tidak menangis. Mengapa aku menjadi cengeng seperti ini? Kenyataan itu pun membuatku kesal.

"Apa itu begitu menyakitkan?"

"Huh?"

"Saat kau kecil, kau melakukan hal serupa dan mengatakan bahwa kau sangat sedih  sehingga membuatmu kesakitan." Sang Earl menjeda untuk sesaat, "Apakah kali ini pun kau merasa seperti itu, Nak?"

"A-apa yang terjadi dulu, Kek?" Tanyaku dengan suara bergetar. Aku takut untuk menyelami ingatan Clara karena jika itu hal yang menyedihkan, aku mungkin akan meledak sekali lagi.

"Jika kukatakan, mungkin kau akan kembali sedih, Nak. Walau begitu, mengapa tidak sekalian saja, huh? Seperti membunuh dua burung dengan satu kali lemparan batu." Sang Earl tersenyum lembut padaku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Y-ya. Itu pasti lebih baik."

Sang earl lalu menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. "Ketika usiamu empat tahun, kau menangis sama seperti saat ini. Mengatakan bahwa kau sangat sedih sampai dadamu terasa sesak. Ketika kami menanyakan mengapa, kau hanya mengatakan bahwa kau seorang diri dan ditinggalkan oleh Mama dan Papa. Kami tidak begitu mengerti karena orang tuamu masih hidup dan sehat sampai saat ini. Hanya saja kau terus menangis hingga membuatmu sakit, Nak."

Secret of Villainous WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang