Bab 21

6.3K 1.1K 90
                                    

Kata Duncan, I'm comeback!

Nggak ada yang kangen Duncan, apa??

Nggak ada yang kangen Duncan, apa??

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.














Aku merasa ringan melayang yang mana memang terjadi kepadaku. Di sekelilingku adalah pemandangan kantor di mana aku berkerja sebagai Renata Indra. Tidak ada yang berubah sama sekali meski aku sudah tidak berada di sini selama beberapa bulan. Aku lalu masuk ke dalam ruangan kerjaku yang terlihat sudah sepi, namun lampunya masih menyala karena tentu saja, aku masih harus berkerja dan menyelesaikan pekerjaanku.

Mejaku berada di sisi yang lain dan tertutup oleh partisi sehingga tidak bisa terlihat di pintu masuk. Aku yang melayang lalu mendekat dan tercekat ketika melihat wajahku luruh di atas meja dengan hidung yang mengeluarkan darah. Layar komputer mulai berkedip dan menampilkan file excel yang kubuka.

Aku panik, tentu saja. Berusaha untuk menyentuh tubuhku dan gagal. Opsi lainnya, aku harus masuk ke dalam tubuhku dan membuatnya sadar yang mana juga gagal. Aku hanya bisa menembus tubuh asliku. Tanpa bisa bersatu atau merasukinya.

Astaga! Apa yang terjadi?!

Suara derap langkah yang kukenal lalu terdengar. Suara obrolan dua orang pria yang bekerja sebagai security perlahan mendekat. Mereka adalah dua orang yang kukenal dan seringkali menemukanku di tengah malam dan lalu menyuruhku segera beranjak atau menemaniku sesekali hingga aku selesai. Pak Sardi, nama salah satu security mengatakan bahwa dia memiliki putri seusiaku sehingga tidak tega membiarkanku sendirian.

"Neng, belum balik juga, huh?" Suara serak karena banyak rokok milik Pak Sardi terdengar.

"Kayaknya si eneng mah ketiduran. Nggak nyaut euy." Balas security satunya yang terdengar asing.

Aku melayang tinggi. Berusaha bersuara dan memanggil Pak Sardi dan tidak bisa menemukan suaraku. Saat ini aku mirip seperti hantu tembus pandang yang melayang dan tidak bisa bersuara.

"Astaghfirullah! Si Eneng!" Pak Sardi mendekati tubuhku. Memeriksa denyut nadi di leherku dan mengecek di pergelangan tanganku. "Ujang! Panggil ambulans!" Teriak Pak Sardi lagi dan rekannya, dengan tergopoh mulai menekan tombol di ponselnya. Suaranya bergetar ketika mengatakan kejadian yang terjadi sementara Pak Sardi membaringkan tubuhku dan mencoba memompa jantungku agar ada detak jantung di sana.

Dan saat itu, aku tahu bahwa Renata Indra di dunia ini telah meninggal.

***

"Milady! Anda sudah bangun!" Suara Nancy yang khawatir menjadi latar ketika mataku mengerjap dan menemukan cahaya lembut dari perapian.

"Nan-cy?" Kataku serak karena merasa tenggorokanku dipenuhi dengan pasir. Nancy lalu membantuku untuk sedikit bersandar dan memberikanku air putih hangat. 

"Syukurlah Anda sudah bangun, Milady." Nancy berkata dengan suara bergetar.

"Apa yang terjadi?" Aku berusaha mengingat yang mana membuat kepalaku terasa sakit. Tanganku menyangga kepalaku seolah jika tidak kulakukan, kepalaku bisa menggelinding sewaktu-waktu.

"Anda kelelahan, Milady. Dokter mengatakan bahwa Anda membutuhkan banyak istirahat."

Seharian kemarin kami memang menempuh perjalanan yang panjang. Yang tidak kusangka adalah tubuh Clara yang mudah lelah hanya untuk perjalanan satu hari meskipun di masa lalu, Clara tidak selemah ini. Apakah ada yang salah dengan tubuh ini?

Ingatanku ketika aku melayang-layang sebagai hantu, masuk ke dalam kepalaku. Aku terdiam untuk sesaat sebelum air mata mulai turun dan menjadi isakan.

"Milady. Apakah Anda merasa sakit?"

"Uhh... Tidak...." Aku mencoba menjawab dan gagal. Aku hanya merasa sedih karena identitasku sebagai Renata Indra telah berakhir. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mati begitu saja padahal tidak merasakan sakit apapun. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa berpindah ke tubuh Clara saat ini. Dan aku tidak tahu bagaimana semalam aku bisa berkeliaran sebagai hantu dan melihat saat-saat kematianku sebagai Renata Indra. Aku hanya tidak tahu dan merasa sedih untuk semua hal. Aku merasa gagal menjadi seseorang di kehidupanku sebagai Renata Indra dan tidak tahu apakah hidupku berarti atau tidak.

"Apa yang terjadi?" Suara kakek Clara terdengar oleh telingaku. Namun aku bahkan tidak berani untuk mendongak dan hanya menangis dengan kakiku yang tertekuk.

"Sa-saya tidak tahu, Milord. Milady tiba-tiba menangis..."

"Oh Clara..." Sang Earl lalu mendekat dan duduk di sampingku. Tangannya yang besar mengusap punggungku dan membuatku semakin menangis terisak.

"Panggil dia." Katanya lagi yang entah ditujukan untuk siapa. Aku hanya merasa harus mengeluarkan semua emosiku jika tidak ingin meledak. Dan air mata ini bahkan tidak ingin berhenti meski ragaku sudah mulai lelah.

Ketika tenagaku sudah mulai habis, lengan besar dan kokoh mengangkatku. Membawaku dalam buaian sehingga aku bergelung dalam dekapan seseorang dengan aroma pinus, angin segar, dan kain bersih. Anehnya, aroma itu terasa akrab dan menenangkan sehingga aku mulai larut dalam mimpi yang tidak menakutkan.

"Tenanglah dear Clara. Aku di sini..."

***


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Secret of Villainous WomanWhere stories live. Discover now