Bab 38

618 112 10
                                    

Tubuhku melemah dengan cara yang aneh. Maksudku, aku tidak merasa lemah lunglai dan lesu seperti saat ini ketika beberapa waktu yang lalu pingsan setelah penyegelan bencana. Hanya saja, terasa lelah hingga sepertinya aku bisa memakan satu sapi dewasa dalam satu waktu.

"Pelan-pelan." Duncan membantuku dengan memapah tubuhku. Matanya terlihat menegur cara makanku yang bar-bar. Dia lalu memberiku jahe dan madu hangat yang mulai membasahi bibirku.

Di sekitarku, Arthur dan kedua orangtuaku berpenampilan tidak baik-baik saja. Kedua pasangan bangsawan yang biasanya tampil sempurna, terlihat berantakan. Aku bahkan bisa melihat mata bengkak Arthur yang sangat kentara.

"Apa- Uhuk uhuk." Aku terbatuk. Membuat ketiga orang yang kusebutkan sebelumnya melihat ke healer dan dokter yang merawatku.

"Sebaiknya kita membiarkan Lady Evolet beristirahat lebih banyak."

"Kau bilang tidak ada yang salah dengan Clara!" Arthur menjawab kesal. "Bagaimana kau bisa disebut dokter jika tidak ada kesimpulan yang bisa kau ambil dari keadaan kakakku?"

Aku cukup kaget bahwa adikku yang penyayang bisa marah sampai seperti itu. 

"Arthur." Duncan menegur dengan lembut namun amarah Arthur segera berangsur hilang.

"Aku tidak apa-apa, Art." Aku menarik napas lagi, "Aku hanya butuh berisitirahat."

"Setelah kau makan, Clara." 

Nancy lalu memberikan bubur hangat dengan aroma yang tercium sangat lezat. Tanganku hendak menerimanya, namun Duncan lebih sigap dan membantuku untuk makan. Jika saja aku dalam keadaan normal, aku pasti sudah menepisnya dan beradu mulut. Namun aku benar-benar merasa lelah dan menerima saja suapan dari Duncan.

Mataku lalu melirik ke arah pasangan orang tua Clara, mengerjap beberapa kali dan merasa tatapan mereka yang tidak kunjung melepaskanku. Setelah satu mangkok kecil habis, kedua orang tua Clara baru bernapas lega.

"Sebaiknya Ayah menemani ibu beristirahat." Usulku yang juga disetujui oleh Arthur. Karena sepertinya mereka tidak kunjung bergerak, Arthur pun setengah memaksa mereka sehingga aku meninggalkanku dengan Duncan di kamarku.

Aku menghela napas panjang. Bersandar di kepala ranjang dan mencoba berpikir untuk sejenak. Aku telah mengetahui sebagian besar apa yang terjadi kepada tubuhku dan juga tubuh Clara. 

"Setelah kau pulih, kakekmu akan membawamu ke mansionnya."

"Huh?" Aku memiringkan kepalaku. Berpikir bahwa musim sosial baru saja dimulai dan masih banyak acara yang harusnya aku datangi bersama dengan Duncan.

"Aku yang akan menjelaskan kepada Yang Mulia."

Aku mengangguk. Tidak berkeberatan mengenai aku yang harus absen dari musim sosial. Bahkan sebagai Clara, dia memang tidak begitu menyukai musim sosial yang membuat sesak.

"Setelah itu," Duncan menjeda ucapannya. "Setelah pertunangan Putra Mahkota dan Lady Nottingham diumumkan, jika kau ingin mengakhiri pertunangan kita-" Duncan kembali menjeda ucapannya. Membuatku tiba-tiba merasa dingin di sekujur tubuhku. 

Duncan menghela napas panjang. Netranya lalu menatapku dalam. "Aku akan mengabulkannya." 

Dadaku lalu merasa sesak. Ada rasa yang menghujam dalam. Kami saling bertatapan dan aku tahu, bahwa Duncan terlihat berat untuk mengatakan hal itu. Tapi bukankah memang itu yang aku inginkan selama ini? 

***

Seminggu telah berlalu sejak insiden itu. Duncan secara rutin mengunjungiku, memastikan dokter dan juga healer memeriksa dengan cermat. Dia tidak banyak bersuara dan pamit begitu saja.

Arthur juga sama halnya dengan Duncan, jika saja dia tidak dipaksa untuk kembali ke akademi, entah bagaimana sikap protektifnya akan terasa mengekangku. Ayah dan ibu Clara juga sering mendatangi kamarku. Seolah melihat apakah aku terjaga ataukan tertidur dengan waktu yang lama seperti terakhir kali.

Dan kemudian, kakekmu yang terakhir datang menemuiku dan mengajakku untuk berbincang hanya berdua saja.

"Aku sudah tahu sebagian besar yang telah terjadi kepadamu, Nak." Tatapan Kakek Clara sarat dengan pengertian. "August sudah mengatakannya padaku." August adalah nama sang penyihir agung. Beliau dan kakek Clara adalah teman lama.

"Maafkan aku, Kek."

Kakek Clara terdiam untuk sesaat. "Jadi... Kau sudah mengetahui apa yang ingin kau tahu?"

Aku mengangguk kecil, dan menggeleng kemudian. Aku bisa merasakan kerutan ada diwajahku. Beberapa hari belakangan, meskipun samar-samar, semua ingatan Clara dan Renata Indra bercampur menjadi satu. Keadaanku juga pulih dengan stabil dan aku juga bisa merasakan bahwa kekuatan mana yang ada di dalam tubuhku perlahan-lahan semakin kuat.

"Aku senang bahwa aku terlahir di keluarga ini." Kataku pada akhirnya. Bukan berarti aku melupakan kehidupanku sebagai Renata Indra, toh diriku di dunia yang satunya sudah tidak ada lagi. Jadi, bukankah sudah sebaiknya aku menjalani kehidupan kali ini penuh dengan rasa syukur.

"Terima kasih, Nak." Ucap kakeknya dengan air mata yang menitik di sudut matanya. 

Seminggu kemudian, ketika aku sudah bisa beraktivitas dengan normal, aku mulai mempersiapkan perjalanan ke mansion kakekku. Orang tuaku tetap berada di ibukota karena kewajibannya sebagai bangsawan. Mereka juga lah yang mengisi ke alpha-anku dalam kehidupan sosial. Sebagai salah satu yang dianggap berjasa untuk melakukan segel kepada bencana tempo lalu, hal ini memang tidak bisa dihindarkan.

Duncan datang ketika keretaku sudah siap untuk melakukan perjalanan ke wilayah Nottingham -wilayah milik kakekku berada-. Ini pertama kalinya kami berduaan setelah Duncan mengatakan bahwa akan mengakhiri pertunangan kami setelah kabar pertunangan putra mahkota diumukan. Aku cukup canggung menghadapinya saat ini.

"Aku senang bahwa kau baik-baik saja."

"Hei-" aku berhenti karena merasakan tatapan dalam Duncan kepadaku. Aku merasa perutku mual dengan perasaan yang aneh. "Terima kasih karena kau telah menjagaku."

Duncan tersenyum tipis. "Clara, berjanjilah padaku." Katanya lagi.

Aku tidak membalasnya dan hanya mendengarkannya dengan seksama. Aku bahkan harus menatap ke atas karena rasanya aku hampir meneteskan air mata konyol. 

"Kau harus selalu sehat dan baik-baik saja. Dan yang terpenting, kau harus bahagia." Ucapnya lagi.

Aku tertawa yang terdengar seperti erangan pilu. "Dasar laki-laki jahat1" Umpatku sebelum kakiku membawa tubuhku untuk memeluknya. Duncan menerima tubuhku dan aku merasa mulai menangis untuk sebab yang aku tahu, bahwa aku tengah patah hati.

Kedua lengan Duncan memelukku. Aku bisa merasakan bahwa Duncan menarik napas panjang seolah sedang menyimpan aromaku. Begitu pula aku yang juga sedang merasakan kehangatan dari sosok yang sedang memelukku. 

Sampai pada akhirnya aku merasa bahwa keadaanku akan baik-baik saja. Aku melepaskan pelukan itu. Jari Duncan mengusap sisa air mata di pipiku. Aku memberikan senyum terima kasih selebar yang bisa kuberikan.

"Kau juga. Kau juga harus baik-baik saja."

Duncan mengangguk. Dia lalu menggandengku dan membantuku untuk naik ke kereta kuda yang sudah siap. Kedua orangtuaku juga ikut mengantarku dan mengatakan bahwa secepat mungkin mereka akan menjemputku.

Aku mengangguk. Melambaikan tangan ketika kereta sudah berjalan menuju kediaman kakekku di Nottingham.

***


Secret of Villainous WomanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang