Bab 32

7K 1K 59
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Aku menghirup udara segar setelah hujan turun yang belakangan sering terjadi. Udara dingin berembus namun memupuskan keinginanku untuk menutup jendela dan beranjak pergi. Aku masih ingin berada di sisi jendela dan merasakan  udara sejuk yang membelaiku saat ini. Bau hutan yang terbawa angin begitu menenangkan dan membuatku mengingat seseorang yang belakangan berada di pikiranku.

"Milady, saya membawakan cokelat hangat untuk Anda." Nancy lalu datang. Memberikan mug dengan aroma menggoda dan memakaikan selimut ke sekitarku.

Aku tersenyum singkat. Kembali menatap ke kejauhan sembari melamun tidak tentu. Perkataan Duncan masih membayangiku meski sudah lewat sehari. Kami belum bertemu lagi karena dia memang terlihat sangat sibuk dengan pergolakan yang terjadi di istana akhir-akhir ini.

Pertemuanku dengan Duncan pagi itu, terjadi karena Duncan langsung ke kediamanku untuk memastikan keadaanku. Syukurlah aku bangun di saat yang tepat karena Duncan lalu menghilang setelahnya. Dia bahkan tidak menunggu jawabanku dan memilih untuk membiarkanku berpikir. Arthur kemudian datang dan meskipun tidak menyukai Duncan, dia cukup takjub karena sikap Duncan yang tulus terhadapku.

Orang tuaku sangat bersyukur ketika bertemu denganku. Memupuskan ingatan Clara mengenai bagaimana tidak acuhnya pasangan Evolet itu. Ayah Clara bahkan berjanji akan melakukan semua permintaan Clara di masa depan. Bayangan mengenai aku yang tidak terbangun membuatnya takut dan kalut. Setelah memastikan aku diperiksa dokter dan baik-baik saja, ayah Clara kembali ke istana untuk bekerja bersama dengan bangsawan lainnya.

"Kak?" Suara Arthur menyela. Dia masuk ke dalam kamar dan duduk di sampingku. "Jamuan dari Baginda akan dilakukan besok malam."

"Oh. Benarkan?" Arthur mengulurkan surat yang masih tersegel dengan tanda kerajaan Alvarez. Dia menyerahkannya kepadaku untuk kubaca isinya.

"Kau belum membukanya dan sudah tahu isinya. Hebat sekali."

Arthur meringis. "Sebenarnya, orang yang mengantarkan surat ini yang memberitahuku."

"Dan dia adalah?"

"Apa kau mau bertemu dengan Max? Dia ada di sini."

Aku mengerjap dan mengangguk. Memanggil Nancy agar aku menggunakan gaun yang lebih pantas untuk kugunakan dan bukannya gaun tidur yang sedang kupakai saat ini. Setengah jam selanjutnya, Nancy mengantarku ke ruang santai dan menemukan Maximus dan Arhur yang tampak saling mendiamkan dengan buku yang mereka baca.

Aku berdeham. Membuat atensi mereka tertuju padaku.

"Senang bertemu dengan Anda, Your Grace." Aku memberi salam resmi kepada Maximus karena melihat kesatria di belakangnya.

"Terima kasih karena kau mau bertemu denganku, Clara. Aku juga senang melihatmu sudah sehat seperti sedia kala." Maximus mengeluarkan senyum menawannya. "Dan kumohon, bersikap santailah. Mereka hanyalah..." Max mengibaskan tangannya. "Yah... Mereka. Para pengawalku bisa dipercaya dan mereka bahkan akan melakukan apapun yang kau perintahkan."

"Maaf?"

Maximus terkekeh. "Dengan apa yang kau lakukan di istana, itu sangat mengagumkan Clara."

Aku mengernyit. "Semua orang yang memiliki atribut serupa dan memiliki mana yang cukup, bisa melakukannya. Beruntung karena aku tidak ikut dalam pertarungan sehingga masih memiliki cukup mana."

"Itu tidak benar, My Lady." Seorang kesatria bersuara. "Dan kumohon duduklah." Kesatria itu menuntunku duduk di salah satu sofa. Dia bahkan sangat perhatian melebihi Arthur yang notabene adalah pemilik rumah.

Aku bingung dan menatap Maximus yang terlihat geli dan Arthur yang juga tampak geli sekaligus kesal.

"Aku bahkan tidak bisa mengalahkanmu sampai saat ini." Dengkus Arhur kesal. "Clara memiliki lebih banyak mana daripadaku."

"Benarkah?" Maximus tampak tertarik. "Bisa dibilang, dia penyihir dengan elemen bumi paling kuat di Alvarez."

"Itu karena banyak penyihir bumi yang lebih memilih membiarkan bakat mereka terkubur daripada mengembangkannya." Aku membantah. "Your Grace sudah pasti lebih kuat dari-"

"Please call me Max, Clara."

Aku terdiam. "Max lebih kuat dariku. Tidak diragukan lagi."

"Itu karena dia adalah mage di masa depan. Kau tidak bisa menyamakan dirimu dengan dirinya!" Arhur bersikeras membantah. Namun perkataannya membuat atmosfer seketika menjadi canggung. Itu jelas karena Sang Penyihir Agung masih hidup.

"Maaf Max." Arthur berbisik.

Max tidak menjawab. Dia hanya tersenyum memaklumi dengan mata yang terlihat sedih. "Kakekku ingin bertemu denganmu. Apakah kau mau menemuinya, Clara?"

"Apakah maksudmu Mage sang penyihir agung?"

Maximus menggaruk pelipisnya. "Aku tidak menemukan sosok lain untuk bisa kupanggil Kakek. Jadi jawabannya adalah; ya benar. Sang Mage ingin bertemu denganmu."

Aku mengedip beberapa kali. Aku bahkan merasa rahangku jatuh ke bumi. Kikikan dari Arthur lah yang akhirnya menyadarkanku.

"A-aku. Uhm. A-aku senang." Aku menggumam.

"Cla-"

"Ya ampun! Aku senang!" Aku bersorak dan membuat orang-orang di sekitarku tertegun untuk sesaat. Tetapi aku tidak peduli karena akhirnya aku bisa bertemu dengan orang yang menurut saintess bisa membantu permasalahan krisis identitas mengenai Clara Evolet dan Renata Indra.

***

Secret of Villainous WomanWhere stories live. Discover now