Bab 39

1.7K 299 43
                                    

Haloo chapter ini mayan panjang. Selamat membaca yaaa

.

.

Solar membuka lacinya dengan kasar dan menemukan foto-foto serta piagam paling fenomenal itu. Lalu, ia menengok ke Bu Dewa yang ternyata tengah memperhatikannya, tapi kemudian membuang muka. Tadi hanya dirinya seorang yang dikomentari begitu panjang oleh Ratu, itu berarti ia yang punya performa paling buruk. Bu Dewa tidak menganggap dirinya sebagai karyawan baru yang masih membutuhkan adaptasi.

Solar memperhatikan Ratu yang menghadap Bu Dewa. Dari mejanya Bu Dewa tampak tersenyum. Ia baru mengingat Bu Dewa terakhir tersenyum padanya di hari pertama ia menginjakkan kaki ke kantor ini.

Solar juga dapat melihat jelas cincin perak yang tersemat di jari manis tangan kiri Ratu. Cantik dan megah. Ia lalu teringat dengan janjinya pada Akar, tapi itu bukan sepenuhnya janji karena siapa tahu hari ini ada meeting. Ia tidak lagi begitu bersemangat mengunjungi Akar.

Namun, Solar membutuhkan informasi tentang foto itu. Kalau tidak ditagih, mungkin saja Akar tidak akan pernah menjawabnya. Jadi, jika malam ini tidak ada meeting, ia akan kembali pulang cepat. Keputusannya sudah bulat. Ia pun ingin menyampaikan hal yang sudah lama ingin dikatakannya.

Lalu, sekarang adalah waktu yang tepat melakukannya. Solar meraih amplop di tas.

Setelah Ratu bicara sama Bu Dewa, Solar pun menghampirinya—yang tentu saja langsung diperhatikan oleh teman-temannya.

"Kenapa?" tanya Bu Dewa ketus.

"Saya mau izin ke Korea, Bu. Sekitar semingguan." Solar menyodorkan amplop itu pada Bu Dewa.

Jarak antara meja Bu Dewa dan anak buahnya yang agak jauh membuat mereka tidak bisa mendengar jelas percakapan Solar dan Bu Dewa. Kecuali kalau keduanya bicara dengan nada tinggi.

Dahi Bu Dewa mengerut. "Ngapain kamu ke Korea?" Ia membuka surat dan membaca isinya.

"Saya menang kompetisi—"

"Apa yang udah kamu kasih sama perusahaan ini?"

"Eh?" Solar berusaha mencerna perkataan Bu Dewa.

"Kamu udah kasih apa ke perusahaan sampai berani izin seminggu? Kamu baru kerja sebulan di sini. Kamu tahu kan peraturannya gimana? Seluruh karyawan di sini baru bisa cuti setelah setahun kerja."

Solar sebenarnya sudah menduga jadinya akan begini. Namun, ia tetap berusaha memperjuangkannya. Siapa sih yang akan menyia-nyiakan hadiah gratis ke Korea? "Tapi saya juga dapet kompetisi itu karena berjuang, Bu. Saya bisa bawa nama kantor dengan prestasi—"

"Prestasi kamu nggak penting."

Ucapan Bu Dewa itu sukses membuat Solar terdiam.

"Kamu ke Korea buat bersenang-senang, apa bagusnya buat kantor? Saya nggak izinkan karena kamu udah menyalahi aturan kantor." Bu Dewa mengembalikan surat itu pada Solar.

Solar mengambil surat itu kembali. Ia menatap Bu Dewa tanpa ekspresi. Bosnya memang tidak bisa diharapkan, dan seenaknya saja dia bilang prestasinya tidak penting. Ia sengaja tidak mengucapkan apa-apa, lalu kembali ke tempat duduknya.

Solar tidak menyadari teman-temannya sedang memperhatikannya. Ia tidak ingin bercerita sama siapa-siapa. Ia pendam rasa sakit hatinya dalam-dalam. Ia bisa menerima argumen Bu Dewa yang menyebutnya melanggar aturan, tapi tidak dengan kata-kata ini.

Prestasi kamu nggak penting.

Dalam hati Solar bersumpah suatu saat ia bakal ke Korea tidak hanya seminggu, ia akan tinggal di sana dalam waktu lama. Lalu, ia juga bersumpah kalau sukses nanti, tidak akan pernah menyusahkan orang seperti Bu Dewa yang sering menyusahkan anak-anak buahnya. Ia akan selalu menjadi kacang yang ingat terus sama kulitnya.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Where stories live. Discover now