Bab 24 (Part 1)

1.6K 283 29
                                    

MERDEKA! Mumpung lagi libur aku update ya. Makasih ya buat kalian yang menyempatkan waktu buat ngikutin cerita ini. Cinta yang banyak buat kalian dari cast-nya Akar 💜💜❤❤❤❤.

 Cinta yang banyak buat kalian dari cast-nya Akar 💜💜❤❤❤❤

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Btw bab 24 juga lumayan panjang,  jadi aku bagi dua.

Selamat membaca ya.

.

.

Solar baru tidur pukul empat pagi, dan bangun pukul sepuluh. Ia terbangun semalaman memikirkan ending yang bagus untuk naskah Mbak Denok yang hancur itu. Proses kreatif orang itu berbeda-beda, dan ia tidak mudah begitu saja menemukan ide yang pas dan bagus untuk ceritanya. Nanti ia akan ikut meeting bersama Mas Mahmud. Akan sangat gawat jika ia tidak merevisi naskahnya. Belum lagi sifat Mas Mahmud yang menganggap semua naskah itu jelek, dan harus diganti sesuai yang dia inginkan.

Jam tidur Solar yang kacau membuat kepalanya luar biasa pening. Badannya jadi pegal-pegal. Segala posisi tidur yang ia coba salah semua. Ia tidak paham sama orang yang bangga ketika begadang. Mungkin ada yang terbiasa begadang, tapi begadang baginya merepotkan dan tidak sehat. Emosinya juga jadi tidak stabil gara-gara jam tidur yang kacau. Semoga saja hari ini berjalan dengan lancar.

Solar tiba di kantor pukul sebelas, dan sudah mengirimkan naskah hasil editannya ke Mas Mahmud, Mas Surya, dan Bu Dewa. Hari ini akan diadakan meeting bersama sutradara dan kru produksi, tapi belum ditetapkan pukul berapa. Semoga saja tidak terlalu malam. Ia sendiri keheranan kantor ini sering mengadakan meeting malam-malam. Dan yang lebih memuakkan lagi Bu Dewa tidak pernah ikut meeting malam di atas jam sembilan.

Bu Dewa belum ada di ruangan, Solar berniat untuk tidur sebentar, tapi pintu tiba-tiha saja terbuka: memperlihatkan kepala Mas Mahmud yang melongok ke dalam. "BBM, nanti kita PPM jam sembilan malam. Jangan lupa kabarin Surya." Ia pergi begitu saja tanpa menunggu respons Solar.

Badan Solar seketika lemas. Kenapa PPM harus semalam itu? "Habis deh gue," ujarnya seraya memijat dahinya yang tiba-tiba jadi tambah nyut-nyutan.

Pintu kembali terbuka memperlihatkan Ratu dan Akar. Mata Solar membesar memperhatikan mereka. Padahal hubungan mereka kemarin sempat merenggang gara-gara insiden itu. Ya, wajar juga mereka bisa berbaikan karena Solar paham Akar dan Ratu sangat dekat, tapi entah kenapa Solar merasa sedikit kecewa. Ia tidak tahu alasannya apa.

"Bar, nanti makan di Bu Gembus ya."

"Iya."

Meskipun hanya dibalas singkat oleh Akar, ekspresi Ratu bagai orang yang baru memenangkan undian berhadiah uang seratus juta. Ratu menoleh pada Solar, kemudian membuang muka.

Solar mengira Ratu yang sudah berbaikan dengan Akar akan bisa bersikap normal padanya, tapi nyatanya tidak. Mereka adalah orang dewasa, sudah seharusnya menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, ia pun langsung membuat perhitungan. "Sampai kapan lo mau kacangin gue?"

Ratu mendongak. "Lo ngomong sama gue?" tanyanya tanpa ekspresi.

"Memangnya sama siapa lagi? Lo pikir mata gue ngelihat ke kaki gue?" Solar terpancing emosinya. Siapa bilang ia tidak bisa marah?

"Orang baru mendingan diem."

Solar mendongak pada Akar tak percaya. Ia benar-benar bingung sebenarnya Akar berada di pihak mana. Kemarin membelanya di depan Bu Dewa, tapi sekarang memojokkannya untuk membela Ratu.

Ratu tersenyum mengejek. "Bener kata Bara. Lo ngaca dong. Orang baru berani nantangin gue."

Solar memejamkan matanya rapat-rapat. Ia berusaha kuat untuk tidak menangis, tapi entah kenapa kata-kata Akar itu menggores hatinya. Kemarin Bu Dewa juga mengatakan hal yang sama. Ditambah lagi dengan emosinya yang sekarang tidak stabil. Air matanya pun tumpah begitu saja. "Gue emang orang baru, tapi bukan berarti kalian orang lama seenaknya ngejatuhin gue!" Ia kembali duduk untuk mengerjakan revisi sinopsis yang kemarin belum sempat dikerjakan, meskipun dengan air mata yang menjeram di pipinya.

Solar rasanya ingin kembali ke kosannya. Ia memiliki bos yang menyebalkan. Ia juga harus bekerja sama dengan penulis ngeyel. Tadi malam ia begadang sampai kelelahan. Tiba di kantor ternyata ia harus berhadapan dengan Akar dan Ratu yang terang-terangan merendahkannya.

Terutama kata-kata Akar yang menyakitkan itu... Tidak perlu diberi tahu, Solar paham ia adalah orang baru di sini. Akar membuatnya jadi merasa terasingkan. Kenapa laki-laki itu tambah membuatnya kebingungan? Di awal perkenalan Akar adalah sosok yang dingin, lalu lelaki itu membelanya terang-terangan sampai diminta resign sama Bu Dewa, lalu tiba-tiba saja menciumnya, dan yang terakhir mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan.

Apa pembelaan dan ciuman itu hanya pura-pura? Seenaknya saja Akar mempermainkan hatinya seperti ini. Kenapa juga ia harus duduk bersebelahan dengan Akar? Solar paham jika pindah ke kursi lain itu terlalu kekanakan, jadi ia sengaja menjauh sedikit dari Akar, dan lebih mendekatkan bangkunya pada bangku Jo yang masih kosong.

Bersamaan dengan itu Mas Jamal, Mas Surya, Jo, Nimas tiba di ruangan.

"Kok hari ini suram banget ya?" komentar Jo yang merasa ruangan jadi lebih gelap dari biasanya.

"Iya, nih. Tolong nyalain lampunya, Jo," titah Nimas.

Jo berniat menuruti Nimas, tapi terhenti karena mendengar suara sesenggukan. Serta-merta ia membelalak. "Lo kenapa, Solar?" Ia menunduk sepantaran bangku Solar.

Nimas ikut menghampiri Solar dan memijat-mijat bahunya.

"Eh, Solar nangis tuh. Ada masalah baru sama Bude?" Mas Jamal menepuk bahu Mas Surya.

"Nggak tahu," wajah Mas Surya menyiratkan kekhawatiran. Ia melirik ke meja Bu Dewa. "Tapi Bude belum datang."

Jo melirik ke Akar yang diam saja seolah tidak peduli, lalu berganti ke Ratu yang tampak sibuk. Dua orang yang baginya menyebalkan itu sukses membuatnya kepanasan. Ia mencebik. "Gue tahu siapa pelakunya." Ia menyerahkan tisu ke Solar. "Nggak usah dipikirin, Solar. Lo nggak salah apa-apa."

Solar masih bungkam, tapi ia biarkan Jo dan Nimas menghiburnya. Sebetulnya ia malu menangis di ruangan seperti ini. Sebelum Bu Dewa datang, ia buru-buru mengelap wajahnya menggunakan tisu pemberian Jo.

Bu Dewa akhirnya tiba di ruangan. Ia begitu saja melewati anak buahnya karena punya urusan lain yang ingin segera dituntaskan. "Tim, kita ke ruangan meeting sekarang ya." Setelah menaruh tas, ia keluar dari ruangan.

Mas Surya pun mengingatkan para junior-nya. "Ayo, Guys. Kita nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini."

Walaupun masih sesenggukan, Solar menuruti titah Mas Surya. Mas Surya memang sempat mengabari tentang pertemuan ini. Mereka akan berdiskusi hangat bersama Bu Dewa soal masalah kemarin. Aduan Mas Surya diterima oleh Pak Bakar, jadi ia akan menyelesaikan masalah kemarin secara terbuka.

Mas Surya merangkul Solar sambil berkata, "Nanti kalau nggak bisa ngomong apa-apa, nggak usah dipaksain. Serahin aja sama gue."

Solar hanya mengangguk. Ia buru-buru menghapus air matanya. Akan sangat memalukan mengikuti meeting dalam keadaan mata sembab. Rangkulan Mas Surya juga mampu membuatnya jadi lebih tegar.

Apakah masih kurang panas? wwkwkw. Tenang masih ada part selanjutnya 💪💪

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Where stories live. Discover now