Bab 23 (Part 2)

1.7K 279 13
                                    

Halooo, makasih banyak buat yang mampir di cerita ini. Semoga bisa menghibur ya. Btw, gambaran kerja di PH sebenarnya tergantung PH dan bosnya. Jadi, nggak semua PH punya sistem kerja kayak Cahaya Gemilang wkwk.

Oke deh, selamat membaca ^^/

"Kamu temenin Solar aja buat PPM atau yang lain juga bisa. Mahmud kan orangnya kayak gitu. Susah dengerin pendapat orang."

Mas Surya berpikir tumben Bu Dewa perhatian. "Gue aja Mbak yang nemenin. Mumud sih nggak ada apa-apanya."

Bu Dewa melirik tajam Mas Surya yang menurutnya terlalu percaya diri.

Mas Surya hanya tersenyum, kemudian menghampiri Solar. "Solar, lo jadi PIC buat FTV yang sebentar lagi bakal syuting. Nanti kita bakal kerja bareng Mumud."

Solar seketika memasang ekspresi memelas. "Yah, kenapa bukan Mbak Gema, Mas?"

"Sst. Di sini nggak bisa milih-milih. Tenang aja gue bakal nemenin lo," ujar Mas Surya seraya tersenyum tulus. 

Solar pun bisa sedikit lega. Paling tidak kehadiran Mas Surya akan membuatnya lebih tegar nanti ketika Mas Mahmud mengeluarkan kata-kata yang pedas padanya.

Mas Surya kemudian berpaling ke Ratu. "Ratu, lo ada naskah FTV yang udah jadi, kan?"

Ratu mengangguk. "Tapi belum sempet gue revisi, Mas."

"Tolong kirimin naskahnya ke Solar, dan kasih kontak penulisnya juga ya."

Ratu terdiam sejenak. Menurutnya ini keputusan yang terlalu tiba-tiba. "Lo yakin, Mas?"

"Diminta sama Bu Dewa. Secepatnya ya, Ratu," Mas Surya kemudian kembali ke bangkunya.

Kalau Bu Dewa yang sudah meminta, Ratu pun hanya bisa menurutinya. "Udah gue kirim ya," ujarnya pada Solar dari balik pembatas.

"Makasih, Tu."

Namun, Ratu malah memasang headphone. Ia sengaja mendiamkan Solar dengan fokus kembali pada pekerjaan.

Solar berpikir sampai kapan Ratu akan acuh tak acuh pada dirinya. Minta maaf padanya soal kemarin saja tidak pernah Ratu lakukan. Masa ia yang harus minta maaf duluan? Ia kan tidak salah apa-apa. Ah, masa bodoh. Sesuka Ratu saja.

Solar pun membuka dokumen yang Ratu kirimkan. Ia sudah tahu idealnya FTV itu punya 90 scene, tapi naskah ini malah ada 120 scene. "Ya, ampun PR banget ngerevisinya." Ia lalu berinisiatif menelepon penulisnya, Mbak Denok.

"Halo, Mbak Denok?"

"Ya? Ini siapa?"

"Saya Solar, creative-nya Cahaya Gemilang. Saya mau ngabarin naskah Mbak bentar lagi bakal disyutingin, tapi scene-nya kepanjangan. Mbak revisi—"

"Aduh, nggak bisa kamu aja yang revisi? Saya sibuk nih, lagi ngerjain naskah lain juga."

Solar terdiam karena baru menemukan penulis yang terang-terangan menolak revisi naskahnya sendiri. "Tapi, Mbak, naskahnya besok mau dibahas di PPM—"

Panggilan dimatikan, dan Solar langsung membatin. "Ngeselin banget ini penulis." Ia memutar otak untuk mengambil langkah selanjutnya. Sebaiknya harus melapor pada Mas Surya atau Bu Dewa? "Ke Bu Dewa aja deh. Biar penulisnya langsung nurut."

Solar menghampiri Bu Dewa yang tampak sedang serius membaca novel I Lost You—yang ingin ia angkat jadi sinetron. "Bu Dewa, Mbak Denok nulis scene FTV sampai seratus dua puluh. Saya minta pangkas, tapi dia nggak mau."

Bu Dewa memasang wajah jengkel. "Masa begini aja kamu harus laporan ke saya? Ya, kamu bujuk dong sampai Denok mau. Itu juga termasuk tugasmu sebagai PIC. Kamu memang orang baru, tapi jangan manja ya."

Solar mematung, tapi kemudian mengangguk perlahan. Ia membalikkan badan seraya mencebik. "Susah ngomong sama bos yang nggak ngerti kesulitan anak buahnya." Ia malah keheranan hanya bertanya dikatain manja. Kalau tidak bertanya dibilang tidak inisiatif. Jadi, sebenarnya apa yang Bu Dewa inginkan?

Solar ingin menghampiri Mas Surya, tapi tiba-tiba saja ia jadi ciut. Ia tahu Mas Surya jauh lebih baik dari Bu Dewa. Hanya, kata-kata anak-baru-nggak-boleh-manja itu mengusik hatinya. Ia jadi tidak ingin merepotkan Mas Surya.

Sekali lagi Solar mencoba membujuk Mbak Denok melalui pesan WhatsApp. Kalau ditelepon kembali kemungkinan tidak akan digubris. Ia juga berinisiatif menambahkan Bu Dewa bisa marah jika Mbak Denok tidak kooperatif. Mudah-mudahan dengan membawa nama bosnya, Mbak Denok bersedia melakukan apa yang diminta.

Tak berapa lama ada pesan balasan dari Mbak Denok.

Oh, jadi kamu ini tukang ngadu ya. Oke, saya revisi sekarang! Awas ya kalau naskah saya nggak jadi disyutingin!

Solar mengerjap. Kalau tidak jadi syuting itu adalah keputusan kantor, jadi seharusnya bukan ia yang disalahkan. Ia memutuskan tidak membalas pesan Mbak Denok itu. Berharap berharap proyek FTV ini segera selesai agar tidak lagi berurusan dengan Mbak Denok. Untung saja hanya satu episode. Ia tidak sanggup membayangkan jika harus bekerja sama dengan Mbak Denok di sinetron yang punya episode panjang.

.

.

Mbak Denok baru mengirimkan hasil revisinya pada pukul sebelas malam, ketika Solar akan tidur. Padahal ia ingin memanfaatkan waktu lowongnya. Ia membaca sekilas naskah yang sudah Mbak Denok revisi. Tak dinyana naskahnya tambah hancur. Selama berjam-jam ditunggu, Mbak Denok hanya memangkas scene nomor 91 sampai 120 tanpa memolesnya lagi. Ending-nya pun jadi terlihat ngaco total.

"Argghh! Masa harus gue yang nulis ending-nya?" terang saja Solar frustrasi. Apalagi besok ia akan melakukan technical meeting atau PPM dengan kru yang akan melakukan syuting. Jadi, mau tidak mau ia yang mengedit naskah itu seorang diri. Ia pun harus begadang lagi.

.

.

Malam ini Akar dan Ratu berkunjung ke rumah sakit di mana ibunya Akar dirawat. Lokasinya berada di pusat kota Bogor. Mereka tidak diizinkan membesuk karena jamnya sudah habis. Padahal tadi Akar sudah merasa cepat membawa motornya, tapi tetap saja terlambat. Hari ini ia kembali gagal menjenguk Ibu yang keadaannya menurut dokter sedikit memburuk.

Memburuk walaupun ditambahkan sedikit bagi Akar tetaplah berita yang menyakitkan. Saking memikirkan ibunya, ia sampai tidak menyadari jika Ratu sudah bergelayut manja di sampingnya. Ia bahkan tidak ingat kapan Ratu mengikutinya.

"Bar, lo tenang aja. Gue bersedia ngebantu lo lagi. Berapa pun bakal gue kasih."

Entah kenapa tawaran bantuan dari Ratu itu makin membuat hati Akar tak keruan. Ia ingin bertemu dengan ibunya. Hanya itu.

Ratu mengusap lembut tangan Akar. "Lo nggak perlu pusingin apa-apa lagi. Gue saranin lo nggak perlu mikirin soal Solar juga. Lo fokus ke ibu lo aja. Biaya rumah sakit biar gue yang tanggung."

Mendengar nama Solar disebut, Akar menoleh pada Ratu. "Kenapa lo tiba-tiba bahas Solar?"

Ratu mencoba menjelaskan secara perlahan pada Akar. "Biar lo nggak kena masalah lagi, Bar. Kemarin lo diancam resign sama Bude gara-gara Solar. Hampir aja Solar bikin lo kehilangan pekerjaan. Jadi, lo harus ngejauh dari Solar."

Pikiran Akar yang tengah semrawut membuatnya menelan mentah-mentah ucapan Ratu itu. Solar memang sempat membuatnya berantakan. Ia jadi lupa kemarin ia berani langsung berhadapan dengan Bu Dewa bukan hanya karena Solar, tapi karena keputusannya sendiri yang melihat Bu Dewa semena-mena. Ia membenci dirinya yang tidak berdaya dan lagi-lagi terpaksa menerima bantuan dari Ratu demi kesehatan ibunya.

Chapter ini masih pemanasan dulu, chapter depan bakalan beneran panas. Siap-siap aja wkwkwk. 😱😱🙈🙈

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Where stories live. Discover now