Bab 35

1.6K 294 25
                                    

Halooo kehidupan Solar di kantor Cahaya Gemilang memang dipenuhi konflik ya haha. Selamat membaca.
.
.

Rasanya baru kemarin Solar masuk ke Kotak Neraka. Ia masih mengingat betapa tidak berdaya dirinya kala itu. Namun, ia tidak merasa selemah dulu. Sekarang ia sudah siap menerima segala hal yang akan terjadi padanya. Ia memasang ekspresi datar pada Ratu yang wajahnya seperti sudah ingin mencakarnya di mana-mana.

"Lo tahu nggak salah lo apa?" ujar Ratu dengan nada ketus.

Kalimat pembuka Ratu itu memang dahsyat dan menusuk, tapi Solar punya jawaban yang tepat untuknya. "Mau gue ngelakuin hal yang udah bener juga, tetap salah di mata lo."

Tatapan Ratu menajam. Ia paling tidak suka dengan orang yang menurutnya sok seperti Solar. "Lo nyadar nggak, lo ini orang yang paling Bu Dewa nggak suka?"

Solar pura-pura kaget. "Masa?" Kemudian ia tersenyum main-main. "Nggak heran sih. Dari pertama masuk aja gue udah ngebuat Bude marah."

Ratu tidak senang dengan Solar yang terkesan meremehkannya. Oleh karena itu ia akan menceritakan keunggulannya. "Kalau sifat lo kayak gitu, lo nggak akan ke mana-mana. Gue ada di posisi ini sekarang karena gue berhasil menaklukan bos-bos macam Bu Dewa. Hati-hati, lo bakal jadi orang susah terus."

Solar baru menyadari Ratu tidak lagi memanggil Bu Dewa dengan Bude. Dia sudah menjadi pengikut sejati Bu Dewa. Dan seenaknya saja Ratu berpendapat ia akan selalu menjadi orang susah. Tahu apa Ratu tentang dirinya?

"Lo kan lebih tua dari gue. Dewasa lah dikit. Hormat sama bos lo sendiri."

Solar tersenyum lebar. "Gue nggak pernah kepikiran jadi supervisor kayak lo. Gue nggak ada niat naklukin hati Bude karena gue punya impian sendiri."

Ratu mengembuskan napas kuat-kuat. "Lo nyadar dong! Kerjaan lo belum ada yang bener. Masa harus gue back up terus? Sekarang, lo sering cari masalah sama Bu Dewa."

Solar sudah memikirkan bahasan yang bisa membungkam mulut Ratu. "Jadi, lo lagi bandingin diri gue sama lo? Oke, boleh! Omong-omong, lo udah pernah dicium Akar?"

Ratu langsung mendelik.

Solar bertepuk tangan riang. Ia begitu senang karena sudah memilih topik yang tepat. "Pasti belum, kan? Sayang banget. Padahal kalian lebih lama kenal dibandingin gue yang orang baru ini." Ia sengaja menunjukkan wajahnya yang menyebalkan.

"Lo jangan kege-eran. Waktu itu Akar cuma kelepasan," Ratu menatap Solar penuh kebencian.

Solar tentu masih punya senjata rahasia yang lain. Ia menunjukkan ekspresi pura-pura bingungnya. "Kelepasan? Tapi anehnya Akar nyimpan foto gue. Lo tahu juga kan soal ini?" Senyumannya kian mengembang.

Ratu langsung berdiri sampai kursinya terpelanting. "Itu pasti akal-akalan lo aja, kan?"

"Gue nggak tahu apa-apa. Suer." Solar mengangkat kedua jari telunjuk dan tengahnya. "Tapi akhirnya gue ngerti. Sebelum kami ketemu pun Akar udah suka sama gue." Ia menggoyangkan kepalanya dengan genit.

"Pergi nggak lo?" ancam Ratu yang kedua tangannya sudah mengepal.

Dengan senang hati, Solar keluar dari ruangan itu seraya tersenyum lebar. Ia merasa puas karena Ratu tidak tahan dengan tekanan yang dibuatnya.

Kemudian, senyuman Solar hilang. Ia menepuk jidatnya kuat-kuat. "Astaga, alay banget gue bawa-bawa Akar. Tapi bodo amat ah. Ratu juga resek sih." Ia buru-buru kembali ke ruangan, dan teman-temannya langsung mengerumuninya.

"Solar, lo diapain sama Ratu?" tanya Jo.

"Jangan bilang lo diancam resign," Mas Jamal memasang wajah khawatir.

"Mana boleh Ratu ngancem Solar resign," Nimas mengatakan hal yang masuk akal.

Belum sempat Solar merespons rekan-rekannya, Ratu keburu masuk, dan langsung histeris. "Kita lihat aja ya Solar siapa yang bakal nikah sama Akar!"

Tiga orang yang tidak tahu apa-apa tentang percakapan Ratu dan Solar tadi terang saja melongo.

Setelah memekik kencang seperti itu, Ratu kembali keluar dari ruangan, yang tentu saja makin membuat ruangan creative tambah heboh.

"Ahaha, keren juga Akar direbutin dua orang cewek," tawa Mas Jamal terdengar ke seluruh ruangan

Jo memasang wajah bete. "Apa istimewanya Akar?"

Nimas mencubit pinggul Jo sampai cowok itu memekik. "Alah, iri aja lo kepala sawo."

"Dih, rambut gue yang keren ini disamain sama sawo," Jo malah tertawa. "Bisa aja lo, Mbak Nim." Ia mencubit pipi Nimas sampai akhirnya Nimas mencubitnya berkali-kali.

"Aduh, aduh, iya, maaf," Jo langsung angkat tangan karena ia sudah kalah telak.

Solar tertawa saja melihat tingkah Nimas dan Jo yang kadang akrab seperti Pooh dan Piglet, kadang bertengkar seperti Tom dan Jerry. Ia kemudian bercerita. "Gue tadi terpaksa bawa nama Akar soalnya Ratu ngeselin banget, bandingin dirinya sama gue. Ya, emang beda sih, gue nggak punya pengalaman apa-apa, tapi kan nggak perlu diingetin lagi." Ia tiba-tiba saja memasang wajah serius. "Eh, ada yang ngerasa Ratu jadi mirip Bude nggak sih?"

"Ahaha, baru nyadar lo?" Lagi-lagi Mas Jamal yang paling pertama heboh.

"Dari dulu juga Ratu emang karyawan kesayangan Bude," jelas Nimas.

Jo pun ikut berkomentar. "Gue juga nggak suka. Dia beda banget sama Mas Surya yang vokal suarain hak-hak kita. Kalau Ratu bakal ngelakuin hal apa aja yang Bude minta."

Solar menggeleng. Ia mulai bisa membayangkan apa yang akan ia hadapi ke depannya. Serangan akan terjadi di mana-mana.

Mas Jamal memberikan petuah yang ia harap bisa membantu Solar. "Makanya Solar, nanti kalau meeting lo banyak kasih ide. Ide asal-asalan bodo amat lah. Terus coba deh lo puji dikit Bude, siapa tahu kan lo bisa jadi karyawan kesayangannya juga! Hahai!" Anehnya ia malah geli sendiri dengan jawabannya.

Solar beranggapan hanya saran pertama Mas Jamal yang bisa ia lakukan. "Gue bakal ngebiarin semuanya berjalan kayak air mengalir. Tujuan gue ke sini bukan karena ingin jadi supervisor atau head creative." Ia kembali ke bangkunya. "Ayo, kita balik kerja. Biar bisa pulang cepet," ujarnya penuh semangat.

"Enaknya yang nggak ada meeting," Nimas memasang ekspresi pura-pura kecewa. Meeting malam selalu membuatnya tambah kelaparan.

"Semangat ya, Nim. Siapa tahu ketemu calon suami," kelakar Solar asal.

Jo bolak-balik menatap Nimas dan Solar. "Wah, kalian ngegosip di belakang gue ya."

"Main nyambung aja lo kayak telepon nyasar," Nimas menjulurkan lidahnya.

Jo kemudian fokus pada Solar. "Nanti mau gue antar balik, Solar?"

Solar lekas menggeleng. Ia punya urusan lain, dan tidak ingin Jo mengetahuinya. "Gue balik pakai ojek online aja."

"Yakin?" Jo ingin memastikan Solar baik-baik saja. Rekannya ini terlalu mendapatkan banyak tekanan dari mana-mana. Walaupun terlihat kuat, tapi setidaknya ia ingin menghiburnya.

Solar mengangguk pasti. "Nggak enak ah, gue sering ngerepotin lo."

Jo sebenarnya agak kecewa karena baru kali ini Solar ngotot menolak ajakannya. Apa boleh buat, ia juga tidak punya hak untuk memaksa. Ia berharap Solar betah bekerja lama di sini. Kalau dipikir-pikir kenapa masalah selalu menyerang Solar? Apa ada yang sengaja membuatnya seperti itu?

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Where stories live. Discover now