Bab 10

2.4K 332 5
                                    

Haloo, aku update cepet karena besok dan Jumat mau persiapan buat ujian les bahasa Korea di hari Sabtu. Biar aku bisa lulus, aku harus belajar wkwkw. Selamat membaca ya. Jangan lupa voment dunggss.

.

.

Solar tidak percaya Mas Surya mengajak ke rumahnya lagi. Ada apa ini? Apakah Mas Surya juga.... Ia menahan diri untuk tidak berteriak kencang karena Mas Surya belum ada memutuskan panggilan.

"Gimana, Solar? Lo bisa kan ke sini?"

Meskipun senang, Solar butuh tahu alasan jelas. "Ada urusan apa ya, Mas?"

"Gue mau nitip sesuatu ke lo. Kalau mau tahu apa yang pengin gue titipin, lo harus ke sini."

Jawaban yang tidak sepenuhnya membantu, tapi Solar tetap menyanggupi. "Saya baru bisa datang malam kayaknya, Mas."

"Nggak masalah. Gue tunggu ya."

"Oke, Mas!"

.

.

Ketidakhadiran Solar di ruangan dimanfaatkan oleh creative untuk membicarakannya. Mumpung Bu Dewa juga sedang ada di luar.

"Eh, Solar kocak juga ya. Gue pikir dia itu penakut, ternyata dia sampai ngebuat Bude sampai senewen gitu," ujar Nimas yang sedang membaca sinopsis dari penulis.

Jo tertawa membayangkan hal tadi. "Solar nggak nyadar lagi nantangin Bude."

"Ah, Pertamax emang nggak bisa baca sikon. Kalian tenang aja. Gue bakal ngajarin dia buat peres," ungkap Mas Jamal yang cukup dag dig dug dengan tingkah Solar tadi. Selama Mas Surya tidak masuk, komando dititipkan padanya.

Akar tertawa sinis. "Kacangin aja sih, Mas. Biar dia tahu di sini kita nggak bisa seenaknya kayak gitu."

"Nggak, gue harus bertindak. Gimana jadinya kalau Solar bocorin ke Bude semua hal-hal jelek yang kita omongin tentang dia?"

"Gue nggak yakin Solar orang yang kayak gitu. Dia emang jujur, tapi nggak akan sampai segitunya," Jo membela rekannya itu. Ia tiba-tiba saja jadi emosi. "Kalau ada tukang ngadu, kita bakal tahu siapa orangnya."

Tiba-tiba saja emosi Ratu meluap. "Eh, lo jangan asal tuduh ya."

Jo tertawa sinis. "Kenapa lo marah? Siapa juga yang ngatain lo tukang ngadu?"

Ratu nyaris ingin menimpuk Jo dengan buku catatannya, tapi Akar mencoba mencairkan suasana.

"Kenapa kalian ngomongin hal yang belum tentu terjadi sih? Udah lah balik ke kerjaan masing-masing."

Jo melirik tajam Akar. Entah kenapa emosi itu masih menguasainya. Apalagi ketika ia mengingat kejadian masa lalu yang akan terus membekas di hatinya. "Lo nyadar kan, Kar? Harusnya gue nggak perlu nulis surat pernyataan itu."

"Diem, Jo," Akar mendelik tajam.

Jo semakin emosi. "Gue paling nggak suka sama orang yang ngejatuhin orang lain demi kepentingannya sendiri!"

"Gue bilang diem!" Akar semakin meninggikan suaranya.

Hingga akhirnya terdengar suara isakan. Nimas menangis sampai bahunya naik-turun.

Jo yang melihatnya tidak berkomentar apa-apa. Ia memilih keluar dari ruangan daripada menimbulkan keributan yang lebih besar.

Akar menghampiri Nimas dan mengusap bahunya perlahan. "Jangan nangis, Mbak Nim."

Suara Nimas terdengar parau. Susah-payah ia mengucapkan kalimatnya dengan jelas. "Gimana gue nggak nangis? Kalian ngebahas hal yang sebenarnya udah kita selesaikan dengan baik."

Akar semakin mengusap bahu Nimas agar bisa tenang. Bakal gawat jika Bu Dewa melihat mereka bertengkar seperti ini.

Nimas berusaha menghapus air mata dengan tisu. "Bude bakal seneng kalau ngelihat kita berantem kayak tadi. Dia suka ngelihat kita terpecah belah."

"Iya, gue nggak berantem lagi sama Jo. Gue janji."

"Ah, lo mah janji doang!" Nimas kemudian membuang ingusnya kuat-kuat sampai menimbulkan suara yang bikin telinga ngilu.

Akar meringis sembari tertawa karena ingus Nimas sampai muncrat ke tangannya. Ia buru-buru membersihkannya.

Ratu memilih diam seraya pura-pura mengetik. Kemarahan Jo membuat konsentrasinya hilang,

Sementara itu tidak ada yang menyadari jika Solar mendengar itu semua. Ia sengaja berdiri di pintu karena merasakan ketegangan yang terjadi di dalam. Sepertinya orang-orang di ruangan ini pernah mengalami masa-masa yang begitu berat. Ia akan berusaha tidak menambah masalah untuk mereka.

.

.

"Kar, sinopsis udah gue kirim ke lo ya," tukas Solar setelah berhasil merampungkan tugas menulis sinopsis FTV yang diberikan Bu Dewa kemarin.

Akar menunjukkan wajah betenya. "Kenapa lo ngirim ke gue?"

Solar berkata dengan jujur. "Ratu bilang lo yang bakal meriksa sinopsisnya. Katanya lo cowok paling jago nulis FTV romantis di ruangan ini."

Akar mendengus kesal. Ia juga punya pekerjaan lain yang masih belum diselesaikan. Ternyata ada pekerjaan baru yang dibebankan padanya.

"Biar gue yang periksa kalau lo nggak mau."

Solar terkesiap Jo sudah kembali lagi ke tempat duduknya.

Akar memutar matanya malas. "Siapa bilang gue nggak mau meriksa?" Fokusnya kemudian berpindah pada Solar. "Ya udah tunggu pembantain dari gue."

Solar diam saja walaupun ia benci dengan kata pembantaian itu. Terlalu berlebihan.

"Solar lo langsung aja meriksa naskah episode 55 ya. Langsung kasih catatan di setiap scene. Kalau ada scene yang menurut lo nggak pas, boleh lo bikin sendiri," Ratu memberikan tugas baru untuk Solar.

Solar hanya mengangguk. Pekerjaan di sini memang tidak ada habisnya. Ia pun membuka file yang dikirimkan Ratu dan mengeceknya. Ia baca naskah sinetron yang terdiri dari 40 scene itu. Sebenarnya ia belum mengerti naskah sinetron yang bagus itu seperti apa. Namun, ia akan mencoba mengoreksi sesuai dengan instingnya.

Solar melakukan pekerjaannya dalam waktu tiga jam. Setelah itu ia ikut istirahat bersama rekan kerjanya.

.

.

Di depan kantor PH Cahaya Gemilang berjejer pedagang kaki lima dengan menu andalannya. Kali ini mereka makan di sebuah kedai yang menyediakan berbagai jenis sate. Meskipun tadi sempat bertengkar hebat, Solar tidak menyangka Jo bisa membaur dengan mereka Ia memperhatikan Jo yang mengobrol santai bersama Mas Jamal. Yang lelaki itu katakan kemarin ada benarnya. Makan bersama seperti ini dilakukan untuk menenangkan suasana yang bisa saja memanas setiap saat.

Sembari menunggu pesanan, Solar melihat ke kedai sekitar dan menemukan Bu Dewa yang terlihat sendirian. Solar melihatnya tengah memesan di kedai lain yang bersebelahan dengan kedai mereka. Ia pun jadi ingin melakukan hal yang berbeda. "Eh, Bu Dewa nggak diajak makan bareng kita?"

"Nggak akan mau dia," jawab Mas Jamal yang berharap Solar tidak akan melakukan hal di luar akal sehat.

"Kita jarang makan bareng sama Bu Dewa, kecuali pas dia traktir kita," Ratu menambahkan.

Solar jadi penasaran, lalu benar-benar melakukan rencananya. Ia memanggil bosnya, "Bude—"

Rekan-rekannya seketika melongo saat menyadari Bu Dewa menoleh ke arah mereka.

Solar tahu ia tadi salah menyebutkan nama Bu Dewa. Jadi, ia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa agar Bu Dewa tidak menyadarinya. "Bu Dewa, makan bareng di sini yuk," ujarnya yang mencoba beramah-tamah.

Bu Dewa hanya memperhatikan Solar tanpa mengayakan apa-apa. Tim creative pun seketika panas dingin menantikan respons Bu Dewa yang bukan sesuatu hal yang bagus untuk mereka.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Where stories live. Discover now