Bab 28 Bagian 2

1.7K 298 14
                                    

Selamat membaca gaiss
.
.

"Kamu nggak bohong, kan?" malah itu yang Bu Dewa ucapkan. "Coba buktikan anakmu sakit."

"Astaga," bisik Solar. Ia bingung terbentuk dari apa hati Bu Dewa. Hatinya terasa remuk ketika melihat ekspresi sedih Mas Jamal.

Mas Jamal lalu memperlihatkan foto anaknya tampak lemas, dan dikompres. Sekuat tenaga ia menahan emosi demi bisa pulang cepat. "Dia kompres sendiri, Mbak. Saya nggak mungkin biarin dia sendirian."

Bu Dewa mengucapkannya dengan nada datar. "Ya, sudah, kamu boleh pulang. Tapi jangan lupa sama kerjaanmu."

Mas Jamal hanya mengangguk. Ia bahkan tidak sudi mengucapkan terima kasih karena cara bicara Bu Dewa yang tampak terpaksa mengizinkannya pulang cepat.

Solar hanya menggeleng. Ia kemudian berseru pada Mas Jamal. "Mas Jamal, cepat sembuh buat anaknya ya."

"Thanks!"

Yang lainnya juga mendoakan yang sama untuk anak Mas Jamal. Solar lega memiliki rekan kerja yang masih punya akal sehat dibandingkan Bu Dewa yang urat simpatinya sudah putus. Ia lalu berpikir bagaimana caranya agar diizinkan ke Korea? Mas Jamal yang izin pulang karena anaknya sakit saja diperlakukan seperti itu. Mungkin ia tidak menyampaikan maksudnya itu di hari ini.

Setelah membereskan barang-barangnya, Mas Jamal keluar dari ruangan. Ruangan itu jadi tambah sepi. Solar berharap hari ini bisa ia lalui tanpa ada kendala apa pun.

.

.

Solar rasanya ingin menangis karena sudah pukul sepuluh malam, PPM itu belum mulai juga. Tinggal ia dan Ratu yang ada di ruangan, dan selama itu mereka belum ada bertukar suara. Semakin malam pelaksanaan meeting, pasti semakin malam juga selesainya. Ia menatap bangku Bu Dewa yang kosong.

"Mau mulai PPM-nya. Ikut gue," ujar Ratu tanpa sudi melirik Solar.

Solar lekas membawa laptop dan ponselnya.

.

.

Di ruangan itu sudah ada sutradara beserta kru produksi yang akan menjalankan syuting di lapangan nanti. Beberapa kru ada yang menguap panjang, sementara itu hanya ada air mineral di atas meja.

Padahal Solar berharap Mas Mahmud memberikan mereka makanan karena ini sudah cukup malam.

Tanpa basa basi, Mas Mahmud membuka meeting itu. "Oke, kita bahas naskahnya per scene ya."

"Mas, belum baca naskahnya?" Ratu terdengar kecewa.

"Belum sempet. Sekarang kan produsernya cuma satu. Lo kan udah diangkat jadi supervisor, pasti nanti ngerasain deh gimana repotnya nge-handle banyak proyek," Mas Mahmud mengatakannya seraya tersenyum sinis.

Namun, Ratu tidak ingin meeting ini berlangsung lama. "Mas, naskahnya ada sembilan puluh scene. Kalau semuanya dibahas satu per satu, kita baru kelar habis subuh. Apalagi kita bakal bahas lokasi sama wardrobe­ juga."

Solar mendelik. Ia bahkan tidak membayangkan meeting sampai pagi.

"Ya, makanya kita mulai sekarang, biar nggak lama—"

Ratu kembali menanyakan hal lain yang menurutnya krusial. "Terus nggak ada makanannya nih, Mas?"

"Aduh, Ratu, sabar dong. Tadi gue udah minta OB buat beliin," Mas Mahmud menanggapinya santai.

Meeting pun dimulai, dan yang paling banyak bicara adalah Mas Mahmud karena ia paling semangat mengoreksi naskah yang menurutnya berantakan. "Ini scene pertama nggak bisa malam. Terus scene kedua, langsung pagi, ketegangannya berasa turun nggak sih? Harusnya scene dua waktunya masih berdekatan sama scene awal. Siapa ini penulisnya?" Mas Mahmud melihat nama yang tertera di naskah. "Mampus gue si Denok. Naskah Denok nggak pernah ada yang bener di mata gue. Kenapa creative masih pakai Denok sih?"

"Kan kemarin sinopsisnya Mbak Denok di-acc sama Rania TV," Ratu memberikan jawaban yang cukup logis.

"Bilangin ke Denok, yang nulis orang lain aja, jangan dia."

Solar merasa bersalah karena sedari tadi ia diam saja. Kalau lama-lama seperti ini, Mas Mahmud pasti akan memarahinya.

"BBM, suara lo mana? Masa lo biarin supervisor lo ngomong terus?"

"Iya, Mas," hanya itu yang mampu Solar keluarkan.

Meeting tetap berlanjut, walaupun pesertanya diserang kantuk yang luar biasa. Mas Mahmud benar-benar merombak naskah sesuai yang diinginkannya. Tidak ada yang memprotes karena ingin PPM itu segera berakhir. Semuanya sudah begitu kelelahan. Mas Mahmud mengakhiri PPM itu ketika azan subuh mulai berkumandang.

Solar sudah seperti patung yang matanya melek sepanjang waktu.

"Syutingnya diundur lusa ya, BBM. Lo harus bisa bujuk Denok buat revisi naskahnya, kalau nggak mau, ancam aja Denok nggak akan dipakai lagi di sini. Naskahnya harus kelar besok. Jangan mau ngerevisi sendiri," titah Mas Mahmud yang mendelik galak pada Solar.

Solar hanya mengangguk. Ia ingin bergegas bertemu dengan kasurnya di kosan. Kemudian, Mas Mahmud memperbolehkan mereka pulang. Ia pun bergegas ke ruangan. Secara mengejutkan, ternyata ada Akar.

Solar tidak memedulikannya, ia lebih memilih membereskan barang-barang.

"Solar, catatannya dikirim ke Mbak Denok sekarang. Biar cepat selesai," perintah Ratu sembari membereskan barang bawaannya.

Bahu Solar langsung loyo. "Gue nggak boleh tidur dulu?"

"Kerja di sini jangan manja ya. Nanti lo bisa tidur habis rapihin catatannya," sahut Ratu ketus. Ia kemudian menghampiri Akar sembari membawa tas. "Makasih ya udah mau jemput gue," ujarnya yang merangkul tangan Akar.

Solar bertatapan dengan Akar yang kemudian membuang muka. Akar dan Ratu keluar dari ruangan, dan ia ditinggal sendirian. Ia tidak menyangka untuk tidur pun jadi sesulit ini.

Solar mencoba mengumpulkan kekuatannya dengan mengambil napas banyak-banyak. Tidak. Ia tidak akan menangis. "Gue nggak boleh nyerah." Ia segera mengerjakan apa yang Ratu minta, meski tidak yakin catatannya akan rapi karena kantuknya sudah merajalela.

"Kerja udah dua puluh empat jam nyaris setiap hari, tapi kenapa sinetron kita nggak ada sebagus drama Korea ya?" keluh Solar.

Cung yang pernah meeting ampe pagi? 😂 Kalian nggak sendirian wkwk. Tetep semangat ya 💃💃.

Nggak Suka? Ya, Resign Aja! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang