Bab 20 - Saat Terakhir

1.6K 220 25
                                    

Bab 20 - Saat Terakhir

Seminggu sudah berlalu sejak Tasya masuk rumah sakit, dan tiga hari terakhir ini, Prita sudah mulai masuk kerja, meski ia sudah tampak seperti mayat hidup. Lyra yang hanya dibuat frustrasi karena melihatnya, sudah berkata bahwa gadis itu tidak perlu pergi bekeja dan beristirahat saja, tapi Prita mengabaikannya.

"Kalau aku nggak kerja, gimana ntar aku ngeganti biaya pengobatan Tasya ke kamu?" balas Prita suatu waktu.

Lyra sampai harus menahan diri untuk meneriakkan bahwa Prita tak perlu membayar itu kembali padanya, dan ia bahkan tak perlu memikirkan tentang itu. Hanya karena melihat betapa situasi saat ini sudah sangat berat bagi gadis itu saja, maka Lyra menahan diri.

Tak perlu disebutkan, Ryan yang mencemaskan keadaan Prita juga dalam kondisi sama mengenaskannya. Setidaknya, kini Prita tak lagi mendorongnya menjauh. Ia tak protes ketika Ryan mengantarkannya menengok Tasya setiap pulang kerja, bahkan ketika semalaman Ryan ikut menginap di rumah sakit meski mereka harus tidur di kursi di ruang tunggu yang jauh dari kata nyaman.

Sementara Prita, Ryan, bahkan Lyra nyaris tak bisa berpikir jernih, hanya Dera yang berusaha bersikap normal. Terkadang, ia akan menceritakan kejadian lucu di sekitar rumahnya, atau hal-hal konyol lainnya, hanya agar Prita tak terlalu larut dalam sedihnya. Beberapa kali Prita sempat tersenyum menanggapi usaha Dera itu, sebelum kemudian kembali larut dalam pikirannya sendiri.

Hingga puncaknya, malam itu, begitu mereka pulang kerja shift sore, Prita mendapat kabar bahwa Tasya siuman. Damar sudah berada di rumah sakit dengan Dhika yang memang shift kerjanya berbeda minggu itu. Tepat tengah malam, mereka tiba di rumah sakit. Dera yang juga mendengar kabar itu, berkeras untuk ikut juga.

Saat mereka tiba di rumah sakit, hanya Prita yang diizinkan masuk ke ruang ICU. Sementara Prita berada di dalam sana, Lyra segera menghubungi Arman. Ia bisa mendengar suara kakaknya yang mengantuk di seberang sana.

"Ar, Tasya udah siuman. Gue mau nyari dokternya dan minta dia ngirimin laporan kondisi Tasya sekarang ke rumah sakit teman lo itu," Lyra berbicara pada kakaknya.

"Oh ya? Oke, gue hubungin teman gue itu," Arman menjawab.

"Thanks, Ar," ucap Lyra tulus.

Arman mendengus kecil di seberang sana. "Apa ini? Lo beneran Lyra, kan? Adik gue yang nggak sopannya kebangetan itu? Bisa bilang thanks juga?"

Lyra tersenyum kecil. "Ntar gue hubungin lo lagi habis gue ketemu dokternya."

"Oke. Dan astaga, ini udah lewat tengah malam, Lyr," kata Arman, tidak kesal, malah geli.

Lyra lagi-lagi tak dapat menahan senyumnya, sebelum menutup sambungan telepon dengan kakaknya. Ia lantas bergegas ke ruangan Dokter Benny. Namun, ketika salah seorang staf mengatakan bahwa Dokter Benny sudah pulang, maka Lyra terpaksa harus menelepon dokter itu juga. Selarut ini. Lupakan kesopanan. Toh ia sudah membuang itu sejak ia menolak bersosialisasi belasan tahun lalu.

Pada dering kedua, Dokter Benny mengangkat teleponnya, dan satu kalimat pendeknya membuat Lyra mendesah lega. Dokter Benny dalam perjalanan ke rumah sakit. Sepertinya staf rumah sakit sudah mengabari bahwa Tasya sudah siuman.

Lyra memutar ponsel di tangannya dengan gugup, harapan membuatnya ingin segera mengetahui keadaan Tasya. Semakin cepat ia mengetahui kondisi Tasya, semakin cepat dokter teman Arman itu memutuskan pengobatan terbaik untuknya. Tasya akan pulih begitu mendapatkan pengobatan itu. Tasya akan baik-baik saja.

Namun, saat Lyra sudah kembali ke ruang rawat Tasya, para perawat dan dokter jaga sudah berada di sana, dan Ryan tampak merangkul Prita, berusaha membawanya keluar dari ruangan itu sementara gadis itu meronta, menangis dan terus memanggil nama Tasya. Kejadian itu mengingatkannya akan kejadian belasan tahun lalu.

Just Be You (End)Where stories live. Discover now