⁰⁴¹ bab empat puluh satu

4.3K 442 55
                                    

━━━━━━━

041

━━━━━━━

         Hal pertama yang Canda rasakan adalah lehernya yang terasa luar biasa pegal. Disusul oleh lengannya yang mati rasa, kemudian sebuah pensil mekanik yang entah mengapa bisa berada di dalam genggaman tangan kanannya.

Satu detik, dua detik.

Canda berusaha membuka matanya yang terasa luar biasa berat. Sial, dia ketiduran!

Di luar hujan deras. Perpustakaan masih terang benderang karena banyak yang berteduh di dalam ruangan. Untungnya, hampir semua orang memutuskan untuk memenuhi ruangan bagian depan perpustakaan, sehingga Canda nggak merasa malu-malu amat terbangun di antara tumpukan buku yang setengahnya belum tersentuh dengan cap bekas tidur di pipi kiri.

Dengan gusar, Canda meraih ponselnya (yang ia letakkan dalam mode diam, dengan posisi menelungkup, dengan tujuan supaya bisa lebih fokus belajar) untuk melihat jam pada layar kuncinya. Pukul enam tepat. Tapi, pesan-pesan dan panggilan nggak terjawab yang memenuhi notifikasinya jelas berjumlah lebih dari itu. Canda mengerang dalam hati, sebelum akhirnya ia mengusap wajahnya sekali lagi, berusaha untuk mengusir rasa kantuk yang masih menempel, lalu bangkit berdiri untuk mulai membereskan barang-barangnya.

Canda memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dilanjutkan dengan tempat pensil, lalu kertas-kertas buram yang sebagian besar halamannya terisi coretan berbentuk tanda tanya. Tangan Canda terhenti sejenak begitu ia menyadari sebuah mangkuk kertas dengan tutup dipenuhi embun yang tergeletak di sebelah botol air mineralnya.

Di atas tutupnya itu, terdapat sebuah sticky notes berwarna kuning.

╔═════ ◦ ═════╗

Dimakan, ya.

╚═════ ◦ ═════╝

Kening Canda semakin berkerut. Ditolehkannya kepala ke kanan dan ke kiri, meskipun ia tahu tindakan tersebut sia-sia. Mengembuskan napas, Canda kembali duduk di bangkunya. Menarik mangkuk kertas itu mendekat. Beribu pikiran baru berkecamuk di hatinya.

Ini dari siapa? Kenapa pakai sticky notes? Kenapa nggak ada nama? Apa dari Ariq? Kalau gitu, Ariq tahu soal dirinya yang suka menempelkan sticky notes ke meja cowok itu? Ya Tuhan, Ariq tahu?

Canda menelan ludah. Ia memutuskan untuk membuka tutupnya, sekadar untuk mengintip. Ayam geprek. Tanpa cabai.

Ah, ini pasti dari Neri.

Kalau begitu, Canda harus memakannya. Bukan, bukan karena Canda lapar berat sampai rasanya dia bisa mengunyah lembaran kertas buram yang baru saja dijejalkannya ke dalam tas, tapi karena ini dari Neri, yang udah capek-capek balik ke sekolah untuk mengantarkan makanan untuk Canda.

Canda membuka selotip yang menempelkan sendok dengan mangkuk tersebut dengan perlahan, kemudian dibukanya tempat makan tersebut. Dibuka sedikit saja, karena aroma makanan bisa menyerbak cepat banget di gedung perpustakaan, dan Canda nggak rela diusir dari tempat nyaman ini untuk berdiri sendirian di tengah hujan.

Suapan pertama ayam geprek dan nasi itu terasa luar biasa enak. Ayam terenak yang pernah Canda makan meskipun sudah mendingin. Cewek itu melahap makanannya itu dengan penuh semangat, nggak lupa sambil memperhatikan sekeliling karena siapa tahu penjaga perpustakaan memutuskan untuk keliling, sebelum tiba-tiba seseorang muncul dari balik rak buku Sejarah.

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now