⁰²³ bab dua puluh tiga

4K 687 17
                                    

━━━━━━━

023

━━━━━━━

 Di kelas pendalaman materi berikutnya, entah mengapa Ariq nggak tertidur. Canda jadi bingung harus ngapain. Dan nggak mungkin banget dia memberikan sticky notes ke orang lain, karena nanti Ariq tahu, dong, kalau yang selama ini menulis pesan-pesan aneh itu adalah Canda sendiri! Yah, itu pun kalau Ariq menyadari keberadaan kertas-kertas tersebut.

Jadi, daripada mengambil risiko terjadinya hal-hal yang kurang mengenakkan, Canda pun memutuskan untuk menggambar-gambar buku paket pendalaman materinya seperti hari-hari terdahulu sebelum dia menemukan hobi menulis sticky notes. Halaman bukunya jadi terlihat penuh, sih, tapi nggak apa-apa!

"Lo bisa menyelesaikan masalah dengan cara merhatiin guru yang lagi ngajar," kata Neri biasanya.

Tapi, aduh, Canda nggak bisa! Apalagi, kalau gurunya menjelaskan materinya pakai proyektor — belum sempat Canda berhasil memahami isi materi tersebut, cewek itu bakalan merasa mengantuk duluan!

Kayaknya, Canda dan Ariq benar-benar mirip dalam hal ini. Bedanya, Ariq terlahir jenius, sementara Canda benci kosinus. Yah, hasil memang nggak mengkhianati usaha. Sudah beberapa kali Canda menangkap Ariq begadang untuk belajar, padahal waktu itu Canda lagi asyik main Instakilo. Jelas saja efek akhirnya berbeda!

"Semangat, Canda!" gumam Canda pada dirinya sendiri. Dimasukkannya ponselnya yang sudah di-silent ke dalam tas, sebelum akhirnya ia membuka halaman buku yang sama dengan yang sedang dibuka Neri. Temannya itu nggak bereaksi apa-apa. Atau mungkin, dia sedang mengucap syukur di dalam hati, tapi Canda nggak tahu. Yah, apapun itu, seenggaknya Canda akan bertekad untuk berubah mulai ... detik ini!

"Disuruh ngerjain nomor berapa aja?" bisik Canda ke arah Neri. Suasana hening karena semua sibuk menunduk melihat soal, sehingga Canda menyetel volume suaranya serendah mungkin sampai-sampai dia bahkan nggak yakin bisa mendengar suaranya sendiri.

Neri menolehkan kepalanya sedikit ke arah Canda, namun tatapan matanya tidak terlepas dari buku paket yang tengah dipelototinya sejak tadi. Canda nggak mengerti apa hebatnya buku itu sampai-sampai Neri nggak mau melepaskan pandangannya sedikit pun.

"Nomor lima belas," jawab Neri, berbisik juga.

"Oke. Trims."

Canda pun mengarahkan pandangannya ke arah buku paketnya. Dibacanya soal, kemudian dituliskannya data-data diketahui yang tersedia, sebelum akhirnya cewek itu memperhatikan papan tulis dengan seksama. Rumus demi rumus tertulis rapi di atas papan putih tersebut, dan Canda berusaha untuk mencocokkan semua data yang dimilikinya untuk dimasukkan ke dalam rumus.

Keningnya bertaut dalam. Datanya nggak lengkap!

"Cari lamda-nya dulu."

Kepala Canda sontak tertoleh ke asal suara, namun akhirnya ia kembali menatap soalnya ketika pandangannya langsung bertemu dengan mata hitam pekat Ariq. "Lamda itu satu gelombang."

"Yep," angguk Ariq. "Satu gelombang panjangnya berapa meter?"

"... Delapan?"

"Coba lihat lagi. Delapan itu dari A ke B."

Canda menautkan alis. "A ke B—Ooohh!"

"Uhuk, uhuk!"

Canda buru-buru menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan. Ariq terkekeh di sebelahnya, sementara Neri menatap keduanya dengan sebelah alis terangkat. Untungnya, guru Fisika mereka, Pak Geri, nggak kolot-kolot amat dan justru ikut tersenyum.

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now