⁰³³ bab tiga puluh tiga

3.5K 580 55
                                    

━━━━━━━

033

━━━━━━━

 Suasana di dalam kafe sudah terasa lebih ramai dari sebelumnya begitu Canda dan Ariq akhirnya selesai makan. Canda menyandarkan tubuhnya sembari mengusap-usap perutnya yang terasa hangat akibat asupan gizi yang baru didapatkannya tersebut. Namun, gerakannya terhenti ketika Ariq memanggil namanya.

"Ya, Ariq?" sahut Canda. Diambilnya gelas karton cokelat panasnya untuk meneguk sedikit isinya.

Ariq menunjuk ke arah kue yang masih terpampang utuh di tengah-tengah keduanya. "Katanya suka cokelat? Kenapa kuenya nggak dimakan?"

Canda menaikkan kedua alisnya. "Oh? Kuenya buat gue?"

"Harusnya, sih, buat Pak Satpam yang berdiri di depan sana, tapi takutnya dia malah ngantuk kalo gue kasih makan," jawab Ariq asal sambil menopang dagunya dengan kedua tangan. Kemudian, cowok itu tersenyum lebar dengan pipi yang terlihat lebih tembam dari biasanya akibat tertekan oleh telapak tangannya. "Buat lo, dong, Can. Ayo, makan."

"Setengah-setengah aja, dong? Gue bagi dua, ya?"

Ariq buru-buru menahan salah satu tangan Canda di atas meja. "Eh, jangan. Lo aja yang makan."

Canda mengernyitkan wajah. "Masa gue yang makannya lebih banyak? Lo kan cowok, kapasitas perutnya pasti lebih besar!"

"Yaudah, setengah-setengah," ucap Ariq akhirnya.

Canda tersenyum puas. Dia menarik tangannya dari genggaman Ariq, tapi cowok itu tetap menahannya di tempat. "Riq, gue butuh tangan gue."

"Kan yang gue pegang cuma satu."

"Lo kan juga butuh tangan lo?"

Ariq mengedikkan bahu, kemudian membuka mulutnya. Suasana di meja mereka berubah sunyi senyap akibat Canda yang seolah membatu di tempat dengan wajah nggak percaya. Lalu, sedetik setelahnya, panas menjalar di wajah sampai ke telinga cewek itu.

Canda menyenggol kaki Ariq di bawah meja. Kacamata hitamnya yang masih bertengger di atas kepalanya hampir jatuh saking salah tingkahnya cewek itu akibat perbuatan Ariq barusan. "Ariq!"

"Iya, Canda? Kenapa?"

Canda nggak bisa berkata-kata. Dia mengambil garpu kecil dari piring kue, kemudian menyodorkannya pada Ariq. "Makan sendiri!"

Ariq menatap Canda sejenak, lalu mengambil garpu tersebut dengan tangannya yang bebas. Bersamaan dengan itu, tangan kanan Ariq yang menggenggam punggung tangan kiri Canda pun ditarik kembali karena Ariq harus menggunakannya untuk makan.

Canda sama sekali nggak merasa kecewa.

Canda memperhatikan Ariq memotong kuenya, lalu meletakkan sesuap mulut cake tersebut ke atas garpunya. Lalu, dengan wajah yang nggak menunjukkan ekspresi apapun, Ariq menyodorkannya ke depan wajah Canda, yang membuat cewek itu refleks menarik kepalanya ke belakang karena sedikit bagian dari kue tersebut berhasil mengenai hidungnya.

"Ariq!" rengek Canda lagi. Ia mengambil tisu dari atas meja untuk mengelap ujung hidungnya yang dihiasi krim cokelat.

Ariq tertawa. "Sori. Gue kira mulut lo di situ."

"Lo ngatain gue pendek?!"

"Bukan gitu, Can!" Ariq langsung berseru defensif, tapi dia masih terlihat kesulitan menahan tawanya.

Sembari merengut, Canda merebut garpu tadi lagi untuk dia pegang sendiri. Lalu, dengan gerakan yang lebih agresif dari yang semestinya, Canda pun melahap potongan cake tersebut sampai ujung garpunya menusuk langit-langit mulut.

Impulsif (on revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang