⁰³⁹ bab tiga puluh sembilan

4.3K 540 30
                                    

━━━━━━━

039

━━━━━━━

 Di sekolah Ariq, ada sebuah tradisi di antara murid yang dibuat oleh para senior mereka terdahulu. Yaitu, di masa-masa ujian akhir SMA, seperti Ujian Sekolah ataupun Ujian Nasional, akan dibuat kelompok belajar dengan satu-dua anak peringat tertinggi angkatan sebagai ketua. Secara teknis, tradisi itu memang kedengaran baik dan sangat memotivasi, tapi pada penerapannya, hal tersebut justru memicu persaingan nggak penting.

Seperti sekarang, misalnya. Bokong Ariq bahkan belum menempel ke atas bangkunya ketika telinganya menangkap bisik-bisik teman sekelas yang sudah mulai membicarakan tentang kelompok belajar yang akan mereka masuki. Jiwa ambisius Ariq sedikit tergelitik, tapi cowok itu tetap berhasil mempertahankan wajah tenangnya seiring dengan langkahnya menuju meja.

Sesampainya di meja, Ariq seperti biasa menempelkan wajahnya ke atas meja. Lalu, disumpalnya kedua lubang telinga dengan earphone, kemudian ditariknya hoodie jaketnya untuk menutupi kepala.

Ariq nggak tersadar kapan ia tertidur, tapi tiba-tiba ia merasakan pundaknya digoyang pelan oleh seseorang. Hanya terdengar suara Travis Scott di indra pendengarannya selama beberapa detik pertama, sebelum akhirnya Ariq refleks menarik earphone-nya dari telinga sembari perlahan bangkit dari posisinya memeluk meja.

"Sori, udah bel soalnya," ucap Reza. Wajahnya nggak kelihatan bersalah sama sekali, tapi Ariq nggak membalas apa-apa karena matanya masih terasa berat.

Ariq baru saja berpikir untuk tidur lima menit lagi, namun ia segera mengurungkan niatnya begitu matanya bertatap-tatapan dengan Bu Sari yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan papan tulis dengan spidol terjepit di antara jemarinya. Buru-buru, Ariq melepas jaketnya dan segera mengambil bukunya dari dalam tas.

Bu Sari mengalihkan pandangannya. "Baik, Anak-anak. Hari ini, kita mulai bab terakhir kita. Buka buku cetak kalian."

Kelas langsung dipenuhi oleh suara berisik anak sekelas yang membuka ritsleting tas. Ada juga yang mengaduk-aduk kolong meja, juga membolak-balik buku tulis mereka entah dengan tujuan apa. Daffa tiba-tiba bangkit berdiri. Bangkunya berdecit, bergerak mundur akibat gaya dorong, sebelum akhirnya terjatuh ke lantai.

"Bu! Saya izin ke toilet," pamit Daffa. Dia nggak menunggu respons Bu Sari, melainkan langsung berlari keluar kelas.

Reza ikut bangkit berdiri untuk mengekori langkah teman sekelasnya itu. Ariq meringis, setengah geli.

Di depan kelas, Bu Sari menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah selalu saya ingatkan supaya kalian jangan lupa bawa buku. Buku itu jendela ilmu!"

Dengan tenang, Ariq menunduk untuk mengambil buku cetak Biologi-nya dari dalam kolong meja. Tangannya merogoh. Kanan, kiri. Atas, bawah. Senyumnya luntur.

Sial. Buku Biologi-nya!

Ariq menegakkan duduknya. Matanya mulai memperhatikan sekitar. Semua sudah punya buku, meskipun nggak sedikit yang saling berbagi. Mata Ariq menangkap sosok Kina yang tengah memotret halaman buku teman yang duduk di belakangnya dengan ponsel.

Ariq menghela napas. Bukunya masih ada di Canda! Mereka pasti sama-sama lupa.

Beberapa menit kemudian, ketika Bu Sari sudah mulai membaca paragraf perkenalan bab terakhir mereka, pintu kelas kembali terbuka. Daffa dan Reza berjalan masuk dengan punggung sedikit ditundukkan. Cengiran menghiasi wajah mereka, dengan tangan menggenggam buku Biologi di masing-masing tangan.

"Permisi, Bu," ucap Reza sopan.

Bu Sari menghela napas. "Iya. Sana, duduk. Sejak kapan buku muncul dari toilet?"

Daffa cekikikan.

Ketika Reza akhirnya sudah duduk di sebelah Ariq lagi, cowok itu mengangkat sebelah alis begitu menyadari bagian sisi meja Ariq yang kosong. "Buku lo mana?"

"Lupa," bisik Ariq pelan.

Reza berdecak, tapi ia tetap mendorong bukunya ke tengah-tengah meja, supaya mereka berdua dapat membaca isinya dengan jelas.

━━

"Can, lo udah tahu, mau masuk kelompok belajarnya siapa?" tanya Neri di jam istirahat pertama. Di hadapannya, ada sepiring sate padang yang masih mengepul. Sementara di depan wajah Canda, ada semangkuk mi ayam yang sudah teraduk rata, kelihatan agak memerah karena kebanyakan tuang sambal.

Canda menjepit mi ayamnya dengan sumpit. "Bukannya lo masuk peringkat sepuluh besar?"

"Iya, gue pas banget di peringkat sepuluh," jawab Neri, terdengar kurang yakin. Tangannya sibuk memotong ketupatnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Potongannya terlalu kecil, menurut opini Canda.

"Yaudah, berarti gue sama lo."

Kepala Neri langsung berputar ke arahnya. Ketika Canda balas menatap temannya itu, ia melihat mata Neri sedikit lebih berbinar dari biasanya. "Beneran, Can?"

"Iya, lah. Ada-ada aja lo," sahut Canda. Ia meraih gelas jusnya, berusaha menghilangkan rasa pedas yang mulai menjalar di lidah meskipun baru makan satu suapan.

Neri menyengir. "Trims, Can. Gue pikir, lo mau sama Ariq."

Kedua alis Canda terangkat naik. "Tapi, lo kan teman gue."

"Ariq bukan teman, niiih?"

"Apaan, sih!"

Neri tertawa. "Iya, iya."

"Makan, keburu bel," tukas Canda cepat-cepat. Supaya nggak perlu membalas ucapan Neri lagi, ia buru-buru menyumpal mulutnya dengan suapan besar mi ayam. Lidahnya terasa seperti kebakaran, tapi mungkin dengan begini, wajahnya bakalan dikira memerah semata-mata karena makan pedas.

Di sebelah Canda, Neri mendengkus. Tapi, alih-alih kembali mengejeknya seperti yang Canda awalnya duga, temannya itu ternyata cuma menjulurkan lidah ke arahnya sekali, sebelum akhirnya ikut melahap makanannya. Kantin memang masih ramai, tapi bel akan berbunyi sebentar lagi. Menjadi penghuni kantin yang terakhir bukanlah pengalaman yang menyenangkan, seenggaknya untuk Canda, karena dia nggak mau dihukum suruh bernyanyi di depan kelas lagi.

Butuh waktu nggak lebih dari lima menit hingga Canda akhirnya mendorong mangkuk minya jauh-jauh. Ia bergidik sambil buru-buru meneguk minumnya banyak-banyak. Seolah mengerti, Neri menyodorkan sehelai tisu ke depan wajahnya, dan Canda pun segera mengeluarkan ingusnya yang hampir meleleh dari hidung.

"Pedes," rengek Canda dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Neri tertawa. Ia mendorong botol air mineralnya ke arah Canda. "Minum air putih."

"Nggak mau makan pedes lagi!" Canda mengipas wajahnya dengan tangan, sementara tangannya yang lain bergerak untuk memiringkan botol air mineral Neri sehingga benda cair dalam plastik tersebut mengalir ke dalam kerongkongannya. Tiga tegukan kemudian, Canda menghela napas. "Cepol gue rusak."

"Lagian, lo makan pedes doang aja kayak orang lahiran."

Canda memanyunkan bibirnya.

Neri menyengir. "Jangan ngambek, Can. Sori, Can. Nanti anggota pertama kelompok belajar gue hilang!"

"Hmm," dengkus Canda. "Nanti gue bantu juga cari anggota lain."

"Ah, jadi nggak enak," ucap Neri. Cengirannya nggak luntur dari wajahnya.

Canda menendang kakinya pelan di bawah meja. "Gue masih kepedesan, jangan bikin makin emosi, deh."

Membantu Neri mencari anggota baru, ya? Hal itu pasti mudah saja dilakukan oleh Neri sendiri. Lingkaran pertemanan Neri dan Canda agak jauh berbeda, karena satu dan lain hal, sehingga selain Neri, Canda nggak dekat dengan siapa-siapa lagi.

Tanpa sadar, Canda melemparkan pandangannya ke arah meja-meja kantin di sekitar. Matanya menangkap sosok Ariq yang tengah tertawa bersama Reza di mejanya sembari melahap nasi goreng. Kemudian, ia kembali menatap Neri.

━━

120719

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now