⁰¹⁶ bab enam belas

4.6K 781 31
                                    

━━━━━━━

016

━━━━━━━

 Ketika Kevin pulang dari kantor malam harinya, abang Ariq itu ikut membawa masuk sebuah kardus tipis berukuran sedang yang ia kempit di antara lengan dan tubuh bagian sampingnya. Mama memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu dari arah sofa, tapi nggak melakukan pergerakan apapun selain menyambut kedatangan anak pertamanya itu dengan kedua tangan terbuka lebar.

Kevin merangkul mamanya sejenak, sebelum akhirnya pandangannya diarahkan pada adiknya yang sedang duduk di lantai dengan remote control di salah satu tangan. "Nih, titipan lo."

Mata Ariq langsung berbinar. Ia bangkit berdiri, dan tanpa meregangkan tubuhnya yang sebenarnya terasa agak kaku karena terlalu lama terduduk dalam posisi yang sama, cowok itu menghampiri abangnya untuk mengambil kardus tersebut dengan hati-hati. "Makasih, Bang!"

"Itu apa?" tanya Mama akhirnya.

"Papan buat di dinding," jawab Kevin.

"Oh? Buat apa?"

"Tempel-tempel gitu, deh. Kevin sering lihat di Instakilo. Apa, namanya? Aesthetic?"

Ariq memutar bola matanya. "Please. Ini papan fungsional, bukan buat dihias-hias."

Kevin hanya tertawa. Abangnya itu pun segera mengambil posisi awal Ariq di lantai setelah sebelumnya mengambil alih remote control dan bantal sofa. Ariq nggak memprotes, tentu saja, karena dia sudah sibuk bersenandung sambil melangkah menuju kamarnya.

Ariq menutup pintu kamarnya rapat-rapat, kemudian diletakkannya kardus tersebut di atas kasur. Ia menggigit bibirnya, sementara matanya bergerak memindai isi kamarnya untuk mencari spot yang tepat untuk menempel papan barunya di dinding.

Dekat jendela, supaya kalau Reza datang, dia bisa dengan mudah menutupinya pakai tirai? Ah, nanti justru tirainya tertarik dan sinar dari luar bisa masuk. Taruh di sebelah rak buku? Ah, atau di balik rak buku?

Ariq menghampiri rak bukunya. Diukurnya lebar lemari berbahan dasar kayu tersebut dengan mata telanjang, sebelum akhirnya ia mengangguk-angguk sok tahu. Ia kembali membuka pintu kamarnya.

Kevin dan Mama sama-sama menoleh ke arahnya.

"Paku sama palu Papa di mana, ya?" tanya Ariq setelah membalas tatapan keduanya dengan kening berkerut.

Kevin menggerakkan dagunya ke arah dapur. "Harusnya ada di laci-laci bawah."

"Oke. Trims."

"Jangan berisik."

"Hmm."

Kevin berdecak, tetapi dia nggak berkomentar apa-apa ketika adiknya itu langsung menyelonong ke dapur begitu saja. Samar, Ariq mendengar volume televisi sedikit diperbesar, tanda bahwa Kevin tengah berusaha menegaskan ucapannya. Ariq mendengkus. Sebagai balasan, ia pun membenturkan dua panci yang tergantung untuk membuat bunyi bising yang kontan langsung membuat Kevin tertawa dari ruang tengah.

Volume televisinya nggak berkurang sedikitpun.

Ariq mengedikkan bahu, kemudian berjongkok untuk mulai membuka satu per satu laci. Sebagian besar terisi peralatan makan, hingga akhirnya Ariq berhasil menemukan laci yang dimaksud oleh Kevin setelah lima kali percobaan. Diambilnya palu dan empat buah paku, dan setelahnya ia pun kembali mengurung diri dalam kamarnya.

Oke. Saatnya membuat rumah khusus bagi sticky notes warna-warni yang belakangan ini tersembunyi di balik halaman terakhir buku Biologi-nya!

━━

Canda pikir, dia nggak bakalan menjumpai percakapan tentang jurusan lagi dalam waktu dekat. Tapi, kelihatannya dia salah besar, karena meskipun cewek itu nggak memberitahu mama maupun papanya perihal kertas pilihan jurusan untuk SNMPTN yang dibagikan hari ini, ada suatu hal menyebalkan yang dinamakan grup obrolan orangtua murid, yang artinya salah satu dari kedua orangtua Canda merupakan anggotanya, yang artinya semua informasi dari sekolah ada di dalamnya.

Yang artinya, makan malam hari ini nggak akan berlangsung mulus.

Sayang, padahal menu hari ini adalah pasta dari restoran dekat kantor Papa, yang juga merupakan restoran kesukaan Canda.

Seperti biasa, Fabian membuka pintu kamar Canda tanpa izin, mengumumkan kalau makan malam sudah siap dan tidak lupa menyampaikan pesan berupa, "Mama tunggu! Di bawah!" yang membuat Canda terpaksa bangkit meninggalkan kasurnya untuk ikut turun bersama Fabian.

Adiknya itu lincah, sebagaimana Canda lesu seperti biasa.

Sesampainya di ruang makan, Papa terlihat sudah duduk manis menghadap meja sembari menyesap minuman dari gelasnya. Matanya menyipit, dilengkapi oleh sedikit kerutan di ujungnya, begitu ia menangkap sosok Fabian yang tengah berjalan cepat menghampirinya. Canda nggak tahu kapan terakhir kali Papa tersenyum selebar itu ke arahnya.

Mungkin sebelum Canda berhenti berusaha untuk ikut menjadi pengacara seperti Papa.

Mama melangkah memasuki ruangan. Kedua tangannya dibalut oleh sarung tangan tebal bermotif polkadot, mengangkat piring berisi pizza di tangan kanan dan mangkuk berisi lasagna di tangan kiri. Canda refleks menghampirinya untuk ikut membantu.

"Mau bantu juga!" rengek Fabian ketika ia melihat Canda mengambil piring pizza dari tangan Mama.

"Boleh. Bian ambil sendok di laci, ya," ucap Mama sambil meletakkan mangkuknya ke atas meja.

Fabian mengangguk dengan penuh semangat. Anak itu langsung melompat dari kursinya untuk berlari menghampiri laci alat makan. Canda memperhatikannya sejenak, sebelum akhirnya ia duduk menghadap meja makan.

"Kamu akhirnya udah memutuskan, Can?" tanya Papa, memecah keheningan yang mulai terbentuk. Fabian kembali beberapa detik kemudian, menyodorkan sebuah sendok ke masing-masing anggota keluarganya. "Makasih, Bian."

Fabian hanya menyengir lebar sambil menusuk salah satu pizza dengan garpunya. Mama buru-buru membantunya sebelum timbul kejadian yang nggak diinginkan, sementara Canda menyendokkan sedikit lasagna untuk diletakkan di atas piringnya sendiri.

"Memutuskan apa?" Canda balik bertanya ketika ia merasakan tatapan Papa masih tertuju padanya. Cewek itu terus menatap piringnya selagi ia melahap lasagna-nya.

"Jurusan," jawab Papa, bersamaan dengan Mama yang berkata, "Mama dapat info dari grup orangtua."

Canda berdeham. "Belum. Belum kepikiran."

"Terus, kamu tulis apa di kertasnya?"

"Nggak tahu. Dikasih tenggat waktu, kok."

"Bukan artinya kamu baru memutuskan waktu hari H," sahut Papa lagi. "Kalau kamu memang nggak punya bayangan mau pilih jurusan apa, kenapa nggak ikuti saran Papa-Mama? Papa bahkan bisa bikin surat rekomendasi, kalau kamu nggak mau pilih Hukum karena takut nggak masuk."

Akhirnya, Canda mengangkat wajahnya. Ditatapnya Papa dengan pandangan nggak percaya. "Terus, kalau aku udah masuk, apa yang bakal terjadi? Diomongin orang karena masuk pakai koneksi, padahal bakat dan minat di bidang itu aja nggak ada? Canda pasti bakalan berusaha sekuat tenaga kalau Canda memang mau masuk jurusan Hukum. Tapi, Canda nggak mau jadi pengacara, Pa. Canda harus bilang berapa kali?"

Pertanyaannya dijawab oleh keheningan.

"Canda tahu maksud Papa-Mama baik. Tapi ..., minat Canda memang bukan di situ. Jadi, tolong biarin Canda memutuskan sendiri."

━━

060119

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now