⁰²⁰ bab dua puluh

4.8K 836 61
                                    

━━━━━━━

020

━━━━━━━

 Makan malam hari ini entah mengapa terasa luar biasa enak di mulut Canda. Makanannya memang mirip seperti yang kemarin-kemarin, karena tenda-tenda kaki lima dalam perjalanan pulang papa dan mama Canda jelas nggak akan berganti menu setiap hari, tapi sepertinya suasana hati Canda benar-benar memengaruhi saraf sensorik cewek itu. Bahkan, nggak seperti biasanya, Canda berinisiatif untuk menyuapi Fabian, lengkap dengan efek-efek pesawat terbang.

"Bian udah gede," protes Fabian saat Canda membuat suara-suara mesin pesawat terbang sambil menggerak-gerakkan sendok di depan wajah adiknya itu. Tapi, akhirnya Fabian melahap suapan Canda tersebut dengan pipi menggembung akibat menahan senyum.

Untungnya, baik Mama maupun Papa memutuskan untuk nggak mengungkit topik-topik sensitif sebagai bahan perbincangan makan malam kali ini, sehingga ketika akhirnya Canda berbaring di kasurnya, seulas senyum lebar tercetak di bibirnya.

Perut kenyang, wajah dan gigi sudah bersih setelah perjalanannya ke kamar mandi sebelum berbaring tadi, Canda sudah akan bersiap tidur untuk menyongsong hari esok yang lebih baik ketika tiba-tiba ponselnya berdenting.

Ariq : can, jadinya gimana? mau?

Canda terkesiap berlebihan. Cewek itu buru-buru bangkit duduk. Otaknya bekerja cepat memikirkan jawaban yang harus dikirimkannya. Harus terlihat antusias, tapi jangan terlalu. Pakai emoji? Atau pakai tanda seru?

Canda : mau.

Rasanya, Canda mau menampar dirinya sendiri.

Ariq : bener? nggak harus, kok.

Ariq : lo nanti nggak bosen dateng ke acara gituan?

Canda : nggak, lah.

Canda : kan sama lo.

Canda : maksud gue, kalau sendirian baru bosen.

Canda : tapi, bukan maksud gue acaranya bosenin!!!

Canda memelototi layar ponselnya sambil menggigiti kuku ibu jari. Tulisan 'terbaca' di layarnya tersebut pasti bisa bolong kalau Canda menatapnya lebih lama lagi. Tapi, untungnya — atau mungkin nggak — beberapa detik setelahnya tulisan tersebut hilang bersamaan dengan layar kolom obrolan yang berubah menjadi layar panggilan masuk dari Ariq.

AAAAAAH!

Canda harus apa?!

Tenang. Canda harus tenang.

Tenang bagaimana?!

Jari Canda refleks menggeser tombol hijau sebelum otaknya sempat memproses semuanya lebih lanjut. Canda benar-benar menahan diri untuk nggak melempar dirinya sendiri ke Samudera Pasifik.

"Can?"

Canda mengerjap. "Uh. Ya. Halo."

Terdengar kekehan Ariq dari ujung telepon. Canda menggigit ibu jarinya lebih keras lagi untuk menahan dirinya agar nggak meleleh. "Lo beneran nggak apa-apa kalau kita ke airshow? I mean, kita bisa ke tempat yang lo suka."

Canda berpikir sejenak. "Riq, lo udah membuang-buang waktu lo — sekitar satu jam? — cuma buat nongkrong bareng anak-anak mading dan nontonin gue makan. Jadi, gue juga harus nongkrong bareng lo juga untuk ... entah apapun yang lo suka. Supaya adil, daripada lo terus-terusan merasa nggak enak karena udah ngajak gue ke airshow. Bukan maksudnya gue nggak mau, tapi gue cuma mau meyakinkan lo aja, supaya lo nggak usah merasa sungkan atau gimana."

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now