⁰²⁸ bab dua puluh delapan

3K 521 13
                                    

━━━━━━━

028

━━━━━━━

 "Can, ada mama lo di TV," sapa Neri dari ujung telepon nggak sampai sedetik setelah panggilan tersambung.

Sejenak, nggak ada suara yang terdengar selain suara embusan angin dari AC kamar dan juga dengkuran Milo yang lagi tidur kekenyangan di atas tumpukan selimut Canda. Sementara itu, dari sambungan telepon, terdengar sedikit kehebohan di belakang Neri yang nggak terasa asing lagi tiap kali Canda menelepon temannya itu.

Mata Canda yang tengah terpaku pada buku cetak yang terbentang di hadapannya berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya cewek itu memutuskan untuk menjawab. "Hai juga, Neri. Lo lagi di mana?"

"Di rumah. Sebentar lagi Marvel sama yang lain mau dateng buat jemput," sahut Neri. Ia berbicara pada seseorang di sebelahnya selama beberapa saat, lalu suaranya pun kembali memenuhi indra pendengaran Canda. "Lo mau ikut?"

Ujung pulpen Canda menggurat permukaan kertas bukunya, menimbulkan jalinan tinta berbentuk persegi. Kemudian, diisinya persegi tersebut dengan garis-garis simetris, diikuti tinta warna lain yang selanjutnya mengisi jarak di antara garis tersebut. Gerakan yang Canda lakukan di bawah alam sadar itu terbukti sedikit ampuh untuk mengalihkan perhatian cewek itu dari perbincangannya dengan Neri yang membuat suasana hatinya jadi agak memburuk.

"Can?" panggil Neri.

Canda meletakkan pulpennya kembali ke atas meja. "Nggak usah. Papa gue belum pulang."

"Masa lo nggak pernah ikut lagi, sih, kalau ngumpul-ngumpul," keluh Neri dari ujung telepon. Tapi, nggak sampai dua detik setelahnya, intonasi suaranya terdengar ceria lagi. "Oh, iya! Kenapa nelpon?"

"Nggak apa-apa. Lupa. Lo heboh duluan, sih, tadi," tukas Canda langsung.

"Soalnya kebetulan banget! Ada mama lo di TV, terus tiba-tiba lo nelpon gue. Pertanda banget, nggak, siiih?"

Iya, pertanda bahwa Canda sebaiknya nggak menyalakan TV malam ini. "Iya, deh."

"Titip salam, ya, buat mama lo! Bilang, 'kata Neri, Mama keren banget!'. Oke? Awas lho, kalau nggak!"

"Haha," respons Canda.

Hening sejenak, sebelum akhirnya Neri memecah kebisuan di antara mereka lagi. "Eh, udah pada dateng! Kalau lo udah ingat apa yang mau diomongin, chat gue aja, ya?"

"Oke. Hati-hati."

"Kabarin gue kalau lo berubah pikiran!"

Sekedip mata setelahnya, panggilan pun terputus. Canda meletakkan ponselnya dalam keadaan menelungkup ke atas meja, diikuti oleh keningnya yang dipukul-pukul pelan ke atas buku cetaknya. Matanya terasa panas, namun nggak ada air mata yang keluar.

Perlahan, Canda bangkit lagi dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi belajar. Pundaknya melesak turun, semangatnya juga sudah hilang nggak bersisa. Kakinya yang berbalut kaus kaki, kali ini warnanya hitam dengan motif berbentuk hati, bergerak-gerak menyapu lantai.

Canda kesepian.

Di kamar sebelah, Fabian lagi asyik melakukan entah apa. Canda tahu seharusnya dia pergi ke kamar adiknya itu dan mengajaknya bermain atau mungkin cuma duduk, sekadar menemani, tapi tubuhnya seolah membantu enggan bergerak.

Dimatikannya lampu meja belajar, kemudian dilangkahkannya kaki menuju tempat tidur sembari menggenggam ponselnya erat-erat. Mungkin dia akan menonton video musik atau vlog orang-orang yang diikutinya di media sosial seperti biasa, karena tidur cepat di malam Sabtu kedengaran cemen banget.

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now