⁰¹⁰ bab sepuluh

6.3K 941 7
                                    

━━━━━━━

010

━━━━━━━

 Menu sarapan pagi keesokan harinya entah mengapa terasa jauh lebih sedap di mulut Ariq. Cowok itu menyantap makanannya dengan penuh semangat, sampai-sampai Mama harus menegur dengan raut wajah khawatir. Tapi, Ariq dapat melihat seulas senyum samar di bibir mamanya, senang akibat suasana hati Ariq yang menggebu-gebu nggak seperti biasanya.

Meskipun begitu, percakapan yang terjadi tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Tentang sekolah Ariq, pekerjaan Papa, dan juga agenda abang Ariq, Kevin, yang seperti pagi hari biasanya, hadir untuk sarapan bersama di meja makan. Yah, siapa juga yang mau menolak masakan buatan Mama? Walau hanya roti isi, kalau mamanya yang membuat, rasanya jadi lebih enak bagi Ariq! Ia juga merasa kalau Papa dan Kevin pasti sepemikiran dengannya.

Bicara soal Kevin, abang Ariq itu memang nggak sering berada di rumah. Umurnya lima tahun di atas Ariq, lulusan jurusan arkeologi, dan sekarang menjadi jurnalis swasta sementara ia menunggu adanya pekerjaan yang betulan sesuai bidangnya. Oleh karena itu, Ariq hanya melihat abangnya tiap sarapan. Atau kalau beruntung, Kevin akan muncul saat jam makan malam, walaupun biasanya datang terlambat.

Papa meletakkan cangkir kopinya, lalu bangkit berdiri sambil mengambil tas kerjanya yang tadi diletakkan di atas salah satu kursi. Mama buru-buru ikut berdiri untuk merapikan dasi dan kemeja suaminya, tak lupa sambil memberikan pesan-pesan seperti, "Jangan lupa makan," dan sebagainya. Tipe-tipe pesan yang kemungkinan besar pasti akan Papa lupakan kalau sudah keasyikan bekerja.

Ariq menyantap telur setengah matangnya dalam sekali lahap, lalu ikut berdiri. Remah-remah roti terjatuh dari kemejanya menuju ke lantai.

"Udah siap?" tanya Papa.

Ariq mengangguk kecil. Ia melakukan rutinitas fist bump-nya bersama Kevin, sebelum beranjak untuk mencium tangan mamanya.

"Belajar yang pinter," nasihat Kevin beberapa saat sebelum Ariq mengekori Papa ke luar ruang makan.

"Iya, Bang. Lo juga, kerja yang pinter."

Kevin memutar bola mata sambil tertawa kecil, sebelum kembali menunduk untuk melahap roti panggang selai nanasnya. Ariq melambaikan tangan, lalu cepat-cepat menyejajarkan langkahnya dengan langkah Papa.

Mereka berdua berjalan meninggalkan apartemen. Papa menutup pintu, sementara Ariq melangkah cepat ke arah lift untuk memencet tombol panah ke bawah. Nggak butuh waktu lama hingga terdengar suara dentingan, diikuti oleh pintu lift yang bergeser terbuka.

"Kamu kenapa semangat banget hari ini, Dek?" tanya Papa setelah memencet tombol lantai yang ditujunya.

Lift mulai bergerak turun. Ariq memperhatikan angka demi angka yang berganti pada panel. "Hari ini hari Jumat."

Papa tertawa. "Halah."

━━

Ah, benar juga.

Hari ini hari Jumat. Nggak ada kelas pendalaman materi. Kalau Reza menyadari ekspresi lesu Ariq, cowok itu nggak berkomentar apa-apa. Dia juga sepertinya nggak menyadari hal tersebut, karena koridor ramai oleh anak-anak cowok yang berseliweran setelah shalat Jumat, dan ekspresi Ariq dapat disalahartikan sebagai ekspresi stress murid SMA akibat banyaknya tugas dan try out.

Biasanya, di hari Jumat, sambil menunggu kelas pianonya dimulai, Ariq akan nongkrong sebentar dengan teman-teman seangkatannya, atan kadang hanya berdua dengan Reza, ngadem pakai AC masjid yang baru diperbaiki minggu lalu. Ariq tidur, sementara Reza bermain ponsel dengan wifi sekolah. Beberapa teman mereka juga terkadang bakalan ikut, meskipun keseringan diusir oleh penjaga masjid karena terlalu berisik.

Dan sekarang, untuk mengganjal perut yang belum mendapatkan jatah siangnya, Ariq dan Reza berjalan beriringan menuju kantin. Beberapa kios sepertinya sudah tutup karena jam sekolah yang sudah berakhir, tetapi kios nasi goreng dan mi langganan Reza serta kios sate padang kesukaan Ariq pasti masih buka.

"Lomba, yuk? Yang sampai duluan ke kantin, ditraktir sama yang kalah!" usul Reza tiba-tiba. Posisinya langsung siap siaga seperti orang yang akan lari.

Ariq tertawa. "Tas gue berat."

"Ah, lagian sih, buku satu lemari dibawa-bawa."

Mendengarnya, Ariq hanya tersenyum miring. Hening selama beberapa detik, seolah-olah seseorang barusan menekan tombol pause, sebelum akhirnya kedua cowok kurang kerjaan itu berlari cepat menuju kantin. Koridor sudah nggak seramai tadi, tapi Ariq masih melambatkan langkahnya supaya nggak menabrak siapa-siapa. Lain halnya dengan Reza, yang menubruk semua orang dengan bahunya yang bidang.

Ariq terbahak-bahak. Ia nggak menyadari kalau di sebelahnya terdapat pintu ruang guru yang perlahan didorong terbuka dari dalam. Masih belum sadar kalau seseorang tengah melangkah keluar dari ruangan tersebut sambil membawa papan dekorasi warna-warni yang terbuat dari gabus.

Ketika Ariq kembali menatap ke depan setelah sibuk menertawakan temannya, semuanya sudah agak terlambat. Ariq sebenarnya masih bisa mengerem, tapi Reza yang berlari seperti banteng menyandung kaki Ariq sehingga cowok itu otomatis refleks mengambil beberapa langkah ke depan untuk menyeimbangkan tubuh.

Papan gabus berwarna pelangi patah dan jatuh ke lantai. Disusul oleh suara jeritan cewek yang membuat gendang telinga Ariq berdengung, dan juga dilengkapi oleh sumpah serapah yang keluar dari mulut Reza.

Jantung Ariq rasanya seperti merosot ke tanah, kemudian terinjak-injak.

"Sorisorisorisorisori. Ya ampun, maaf, ya. Nggak lihat gue. Maaf, ya?"

Bakat nge-rap Ariq tiba-tiba muncul, demi melontarkan kata demi kata maaf dalam berbagai bentuk dan bahasa. Kedua tangan cowok itu diletakkan di depan dengan telapak menyatu, dan ekspresinya pasti nelangsa dan panik sekali.

"Kaget gue." Suara familiar menjawab. "Nggak apa-apa, emang gabusnya mau dipotong, kok."

Mata Ariq mengerjap. "Canda? Duh, sumpah, sori banget."

"Santai aja," ucap cewek itu buru-buru ketika Ariq langsung berjongkok untuk memungut gabus-gabus berwarna-warni tersebut sebelum kena injak lebih banyak orang. Semuanya memang masih polos dan terlihat baru, tapi jelas nggak sedikit serpihan mengotori lantai ketika Ariq menyodorkan gabus itu pada Canda. "Makasih."

"Maaf ya, Can."

Canda menyengir. "Ya ampun. Serius deh, nggak apa-apa."

"Itu patahnya banyak ...." gumam Ariq sembari menggigit bibir.

"Ini bisa diakal-akalin," ucap Canda final. "Nggak apa-apa. Lain kali jangan lari-lari, makanya."

Dari belakang Ariq, terdengar suara Reza, "Tuh, jangan lari-lari, Riq."

Ariq memelototi temannya itu.

Reza buru-buru bungkam. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Canda, sebelum akhirnya ia menunduk dalam-dalam dengan dramatis. "Gue juga minta maaf, Can."

Canda tertawa. "Duh, jangan lebay, deh. Gue duluan, ya, ditungguin banyak orang, nih."

"Mau kita bantuin, Can?"

Mata Ariq kembali terbelalak ketika ia menatap Reza sekali lagi.

"Lo masih ada kosong dua jam sampai les mulai," ucap Reza. Kedua alisnya bergerak naik-turun.

"Nggak usah," sahut Canda kalem, tepat bersamaan dengan Ariq yang bergumam, "Yaudah."

Hening sejenak.

"Nggak usah," ulang Canda.

Ariq menatapnya. "Gue maksa."

"Dih." Canda tergelak. Cewek itu kemudian berdeham. "Tuh, di ruang seberang sana. Tapi, kalau nggak mau datang juga nggak apa-apa—"

"Oke! Nanti kita ke sana habis beli makan," potong Reza, lalu ia pun merangkul Ariq setelah memberikan gestur hormatnya pada Canda.

Canda memandangi keduanya dengan wajah mengernyit lucu.

━━

181018

Impulsif (on revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang