⁰⁰⁶ bab enam [revision]

7.3K 1K 22
                                    

━━━━━━━

006

━━━━━━━

Menu sarapan pagi keesokan harinya entah mengapa terasa jauh lebih sedap di mulut Ariq. Cowok itu menyantap makanannya dengan penuh semangat, sampai-sampai Mama harus menegur dengan raut wajah khawatir. Tapi, Ariq dapat melihat seulas senyum samar di bibir mamanya, senang akibat suasana hati Ariq yang menggebu-gebu nggak seperti biasanya.

Meskipun begitu, percakapan yang terjadi tetap sama seperti hari-hari sebelumnya. Tentang sekolah Ariq, pekerjaan Papa, dan juga agenda abang Ariq, Kevin, yang seperti pagi hari biasanya, hadir untuk sarapan bersama di meja makan. Yah, siapa juga yang mau menolak masakan buatan Mama? Walau hanya roti isi, kalau mamanya yang membuat, rasanya jadi lebih enak bagi Ariq! Ia juga merasa kalau Papa dan Kevin pasti sepemikiran dengannya.

Bicara soal Kevin, abang Ariq itu memang nggak sering berada di rumah. Umurnya lima tahun di atas Ariq, lulusan jurusan arkeologi, dan sekarang menjadi jurnalis swasta sementara ia menunggu adanya pekerjaan yang betulan sesuai bidangnya. Oleh karena itu, Ariq hanya melihat abangnya tiap sarapan. Atau kalau beruntung, Kevin akan muncul saat jam makan malam, walaupun biasanya datang terlambat.

Papa meletakkan cangkir kopinya, lalu bangkit berdiri sambil mengambil tas kerjanya yang tadi diletakkan di atas salah satu kursi. Mama buru-buru ikut berdiri untuk merapikan dasi dan kemeja suaminya, tak lupa sambil memberikan pesan-pesan seperti, "Jangan lupa makan," dan sebagainya. Tipe-tipe pesan yang kemungkinan besar pasti akan Papa lupakan kalau sudah keasyikan bekerja.

Ariq menyantap telur setengah matangnya dalam sekali lahap, lalu ikut berdiri. Remah-remah roti terjatuh dari kemejanya menuju ke lantai.

"Udah siap?" tanya Papa.

Ariq mengangguk kecil. Ia melakukan rutinitas fist bump-nya bersama Kevin, sebelum beranjak untuk mencium tangan mamanya.

"Belajar yang pinter," nasihat Kevin beberapa saat sebelum Ariq mengekori Papa ke luar ruang makan.

"Iya, Bang. Lo juga, kerja yang pinter."

Kevin memutar bola mata sambil tertawa kecil, sebelum kembali menunduk untuk melahap roti panggang selai nanasnya. Ariq melambaikan tangan, lalu cepat-cepat menyejajarkan langkahnya dengan langkah Papa.

Mereka berdua berjalan meninggalkan apartemen. Papa menutup pintu, sementara Ariq melangkah cepat ke arah lift untuk memencet tombol panah ke bawah. Nggak butuh waktu lama hingga terdengar suara dentingan, diikuti oleh pintu lift yang bergeser terbuka.

"Kamu kenapa semangat banget hari ini, Dek?" tanya Papa setelah memencet tombol lantai yang ditujunya.

Lift mulai bergerak turun. Ariq memperhatikan angka demi angka yang berganti pada panel. "Hari ini hari Jumat."

Papa tertawa. "Halah."

━━

Ah, benar juga.

Hari ini hari Jumat. Nggak ada kelas pendalaman materi. Kalau Reza menyadari ekspresi lesu Ariq, cowok itu nggak berkomentar apa-apa. Dia juga sepertinya nggak menyadari hal tersebut, karena koridor ramai oleh anak-anak cowok yang berseliweran setelah shalat Jumat, dan ekspresi Ariq dapat disalahartikan sebagai ekspresi stress murid SMA akibat banyaknya tugas dan try out.

Biasanya, di hari Jumat, sambil menunggu les belajarnya dengan Kak Dhafin dimulai, Ariq akan nongkrong sebentar dengan teman-teman seangkatannya, atau kadang hanya berdua dengan Reza, ngadem pakai AC masjid yang baru diperbaiki minggu lalu. Ariq tidur, sementara Reza bermain ponsel dengan wifi sekolah. Beberapa teman mereka juga terkadang bakalan ikut, meskipun keseringan diusir oleh penjaga masjid karena terlalu berisik.

Impulsif (on revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang