⁰⁰⁷ bab tujuh

6.8K 1K 20
                                    

━━━━━━━

007

━━━━━━━

 Ariq terbangun karena mendengar suara bel pulang. Matanya mengerjap-erjap pelan, sementara otaknya yang baru diaktifkan kembali dengan paksa masih berada dalam mode loading. Tapi, ternyata dia nggak perlu lama-lama bingung karena kemudian netranya menangkap aktivitas teman-temannya yang tengah memasukkan buku-buku ke dalam tas.

Cowok itu buru-buru menegakkan tubuh, diikuti oleh kepalanya yang berputar cepat ke arah teman sebangkunya. "Eh, Za. Reza."

"Kenapa?" tanya Reza dengan mata terpaku pada ponselnya yang ia genggam dengan kedua tangan, memainkan permainan ponsel yang baru pernah Ariq coba mainkan sekali-dua kali. "Ah, bentar, bentar, bentar, dikit lagi menang!"

Tipikal Reza — dia nggak bisa multitasking.

"Udah pulang?" Ariq tetap bertanya. Matanya melirik ke arah tas selempang Reza di atas meja, yang tidak berisi apa-apa selain dompet dan sebuah buku tulis yang sudah ada lipatan di tiap ujungnya, sebelum akhirnya ia beralih menatap sang pemilik benda lusuh tersebut dengan kening berkerut. "Kok nggak bangunin gue?"

Reza akhirnya mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Nggak ada guru daritadi."

"Oh," angguk Ariq. Dia manyun sesaat sembari meregangkan otot-ototnya yang kaku. "Hari ini ada PM?"

"Ada seharusnya," sahut Reza, diikuti helaan napas yang membuat Ariq terkekeh pelan. "Nggak kebayang kalau gue jadi lo."

Kedua alis Ariq refleks bergerak naik. "Hmm? Kenapa?"

"Yah, nggak apa-apa. Di sekolah belajar, di rumah belajar."

Ariq mengulum senyum. Disampirkannya tas ke bahu sambil bangkit berdiri untuk ikut berjalan bersama Reza keluar kelas. Sementara itu, tangannya refleks bergerak untuk merapikan rambutnya yang acak-acakan.

"Dia cuma mau yang terbaik buat gue."

"Nyokap lo?"

Ariq bergumam mengiyakan.

"Gue tahu," Reza manggut-manggut. Pandangannya menerawang, memperhatikan awan-awan kelabu yang menghiasi langit Jakarta di siang itu. "Dia mau lo bahagia."

"Gue bahagia."

"Lo bahagia."

Ariq meninju bahu temannya main-main. "Gue serius. Mending, lo fokus aja cari tahu jurusan yang lo mau."

Reza merengut, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Sisa perjalanan mereka diisi oleh keheningan, sampai ketika Argi lewat di dekat mereka dan Reza merengek-rengek menyebalkan untuk meminta sepotong wafer milik cowok itu. Sebagai gantinya, Reza pun mendapatkan satu setengah potong wafer dan juga sebuah jitakan dari Ariq sebagai bonus.

"Kenapa wafer bisa enak banget, ya?" tanya Reza sambil memperhatikan remah-remah cemilan yang menempel di jemarinya dengan konsentrasi penuh.

"Karena lo suka," jawab Ariq sabar.

"Gue jadi pengusaha wafer aja kali, ya? Biar bisa makan wafer gratis."

"Kan modalnya dari lo juga. Malah keluar duit lebih banyak, dong."

Kening Reza berkerut. "Iya juga. Yaudah, nggak jadi."

Ariq memutarkan bola matanya. Namun, akhirnya tawanya tersembur juga.

━━

Waktu dua jam pendalaman materi memang nggak akan terasa kalau a) kita tidur, atau b) sebuah keberuntungan yang dinamakan jam kosong terjadi (sayangnya poin ini nggak berlaku untuk pendalaman materi, karena tiba-tiba semua gurunya jadi semangat masuk kelas). Dan Ariq, yang meskipun tadi baru tidur setelah jam pelajaran olahraga, tentu saja langsung menjelajah kembali ke alam mimpi begitu pantatnya menempel pada salah satu kursi barisan belakang di kelas B.

Jadi, sepulangnya mereka dari membahas soal-soal Kimia, dengan energi yang sedikit lebih banyak dibandingkan biasanya, Ariq berjalan menuju kantin bersama Reza karena kata temannya itu, "Otak gue mendidih disuruh belajar seharian, perlu minuman dingin!". Dan walaupun otak Ariq nggak mendidih sama sekali, nggak ada salahnya ikut memesan minuman serupa.

Keduanya duduk sejenak di bangku kantin begitu gelas berisi es jeruk mereka sudah selesai dibuat. Reza asyik menyeruput minumannya dengan penuh semangat, sementara Ariq mengeluarkan ponselnya dari saku.

Ah. Cowok itu baru teringat kalau sejak ia main futsal tadi, ponselnya dipasang dalam mode pesawat. Dengan jantung sedikit berdebar, ia pun menyalakan paket datanya kembali sambil menanti-nanti puluhan notifikasi yang sebentar lagi pasti akan memenuhi ponselnya.

Benar saja. Ada notifikasi masuk dari berbagai aplikasi media sosialnya (nggak begitu penting, apalagi pesan-pesan dari grup yang sebagian besar berisi pertanyaan-pertanyaan seperti, "Tugas kalian udah selesai?" atau "Bilangin ya, kalau ada guru!"), dan juga, tentu saja, beberapa panggilan masuk tak terjawab dari mamanya.

"Nyokap?" tanya Reza sembari mengaduk-aduk es jeruknya dengan sedotan.

Ariq mengangguk sambil menyengir kuda.

"Telepon balik aja. Gue ke sana bentar. Laper."

"Gendut."

"Tolong banget, nih. Sebagai seseorang yang agak chubby, nggak seharusnya lo komentar kayak gitu."

Ariq tergelak. "Sial. Yaudah, sana!"

Reza hanya menjulurkan lidah sebelum bangkit berdiri dan segera berlari-lari kecil menuju salah satu kios penjual makanan. Ariq mengalihkan pandangannya dari punggung temannya itu untuk kembali menatap layar ponselnya. Ia menimbang-nimbang sesaat, kemudian akhirnya memutuskan untuk menelepon balik mamanya.

Tak sampai dua kali nada sambung terdengar, suara Mama segera menyerbu memasuki indra pendengaran Ariq.

"Kamu udah pulang, Dek?"

"Udah. Reza lagi makan sebentar."

"Oke. Mama masak, ya, jadi kamu jangan jajan kalau bisa," sahut mamanya, ceria dan ramah seperti biasa.

Ariq tersenyum kecil. "Iya, Ma. Ariq tutup, ya?"

"Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa helm, jaket, masker ...."

"Iya, Ma."

"Oke! Mama sayang Adek."

Untuk yang satu itu, Ariq harus diam-diam melirik ke sana-sini dahulu untuk memastikan nggak ada yang sedang mengupingnya. Reza masih sibuk memesan mi ayam, dan kantin sore itu sudah sangat sepi.

Oke. Aman.

"Ariq juga."

"Juga apa?"

"Juga sayang sama Mama, lah."

Terdengar suara tawa mamanya di ujung telepon, sebelum akhirnya sambungan terputus. Ariq menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil mengembuskan napas, keningnya berkerut samar.

Dia baru menyadarinya begitu Reza datang dengan mangkuk mi ayam dan langsung mendaratkan sentilannya di antara kedua alis Ariq.

"Stop mikir kebanyakan," ucap temannya itu dengan penuh penekanan, diikuti oleh tangannya yang mengambil sumpit untuk mulai melahap makan sorenya.

Ariq mencomot salah satu pangsit goreng dari mangkuk di hadapannya. Dan sebelum Reza sempat protes, Ariq buru-buru membuka mulut, "Cepetan makannya. Gue ditungguin di rumah."

Reza hanya bergumam mengiyakan, sebelum tiba-tiba menunjuk sesuatu dengan sumpitnya. "Eh, Riq, itu emang sengaja lo tempel di situ?"

"Tempel apa?" Kerutan di keningnya kembali lagi. Mata Ariq mengikuti arah tunjuk sumpit cowok di hadapannya, hingga akhirnya mendarat pada sebuah sticky notes yang menempel nggak begitu rekat di permukaan tasnya. "Apaan, nih?"

"Rumus yang tadi diajarin," jawab Reza seolah-olah itu adalah pertanyaan paling bodoh sedunia.

"Gue juga tahu."

"Emang kalau orang jenius tuh beda, ya? Sambil tidur aja tetap bisa nyatet."

Ariq membolak-balikkan kertas tempel tersebut. "Jenius apanya."

━━

041018

Impulsif (on revision)Where stories live. Discover now